Rabu, 29 Oktober 2014

ARSITEKTUR LINGKUNGAN Tema Kawasan bangunan ekologi

Nama : Muhammad Luthfi Fazrin
Kelas : 2TB06
NPM : 26313025

KAWASAN BINAAN EKOLOGI

PENGERTIAN EKOLOGI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang apa saja interaksi sosial dan bermasyaraka dan juga  interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atausistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotikdan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an.Akan tetapi, ekologimempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
Para ahli ekologi mempelajari hal berikut.
1.           Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
2.           Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya.
3.           Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Kini para ekolog(orang yang mempelajari ekologi)berfokus kepada Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim.
Salah satu contoh kawasan Ekologis adalah pada bangunan rumah yang ada di BORNEO DAN SURABAYA

CONTOH BINAAN EKOLOGI PADA BANGUNAN DAN WISATA

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang terkaya setelah negara Brasil. Secara bioregional Indonesia terbagi menjadi tujuh biogeografik region, yaitu bio-regional Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Dalam setiap bioregional tersebut telah ditetapkan sejumlah taman nasional (Sugandhy, 2006). Selain itu, Indonesia kaya akan budaya baik yang tangible (tersentuh) maupun intangible (tidak tersentuh). Contohnya, candi, mesjid kuna dan lain-lain, maupun benda budaya yang intangible, yaitu benda tak berwujud.
Benda-benda budaya seperti sastra, musik, permainan dan olah raga tradisional, teater, dan tata upacara juga ikut berperan dalam proses pembentukan karakter bangsa. Modal heritage/warisan tersebut dapat pula berperan sebagai sumber devisa/moneter yang non destructive  dengan mengedepankan upaya konservasi pada cultural heritage (warisan budaya) dan natural heritage(warisan alam) (Komunikasi pribadi dengan Dr. dr. Boedhihartono, Ahli Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta pada tanggal 12 April 2011).
Sebagai catatan, di Indonesia menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata  hingga November 2008 terdapat 8.449 BCB/ Situs yang telah di Inventarisasi dan ada 408 BCB/Situs yang baru ditetapkan diseluruh Indonesia, dan yang hanya dipelihara hanya 1.847 BCB/Situs yang dipelihara (Direktorat Purbakala, Ditjen Sejarah dan Purbakala, 2008). Ini berarti bahwa seperdelapan saja dari total BCB yang dipelihara hingga kini. Oleh karenanya telah banyak terjadi kehancuran Benda Cagar Budaya baik fisik bangunannya maupun lingkungannya (Mundardjito, 1995).
Belum lagi masyarakat-masyarakat tradisional di Indonesia yang semakin hari semakin menyusut hutan-hutan tempat mereka hidup, seperti penebangan liar (illegal logging). Sebut saja, Masyarakat yang hidup dan tergantung dari hutan di Indonesia adalah masyarakat pedalaman, yang terdiri dari masyarakat pemburu dan peramu; masyarakat peladang berpindah; masyarakat peladang menetap dan masyarakat pertanian menetap. Pada masyarakat pemburu dan peramu sangat tergantung dari sumber daya alam atau hutan. Lingkungan hutan tropis banyak dimanfaatkan dengan teknologi dan pengetahuan tradisonal untuk kegiatan subsistensi. Misalnya, Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi, Orang Sakai di pedalaman Riau, Orang Asmat di pedalaman Irian Jaya bagian selatan, Orang Nuaulu di pedalaman Pulau Seram, Maluku. Masyarakat pemburu dan peramu ini banyak terdapat pada kawasan hutan lindung.
Bagi masyarakat peladang berpindah (slash and burn farmer), mamanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya. Kehidupan ekonomi mereka sehari-hari ditandai oleh kegiatan berladang tanaman pangan (padi-padian atau ubi-ubian) secara berpindah-pindah secara teratur (berpindah di lahan hutan). Pemberlakuan masa bera (hutan sebelum dan sesudah digunakan untuk ladang) biasa disebut juga dengan hutan sekunder (sunda:huma). Pada saat ini, masyarakat peladang berpindah tidak hanya mengandalkan tanaman pangan. Tetapi makin banyak didukung oleh penjualan hasil hutan seperti kayu, rotan, dan damar. Selain itu, masyarakat telah menanam tanaman komoditi, seperti kopi, karet, coklat, cengkeh, dan sebagainya. Contohnya adalah Orang Talang Mamak di pedalaman Riau, Orang Dayak (Kantu) di pedalaman Kalimantan Tengah, Orang Baduy di Jawa Barat, Orang Wana di pedalaman Sulawesi Tengah, dan Orang Dani di pedalaman Irian Jaya.
Masyarakat peladang menetap memanfaatkan sumber daya pertanian dan hutan untuk tanaman komoditi ekspor. Seperti, masyarakat Siladang yang berladang gambir di pedalaman Sumatera Barat, masyarakat Rejang Lebong yang berladang kopi di pedalaman Bengkulu, masyarakat Talang Mamak di Indragiri Hulu atau Kuantan dan Kampar yang berkebun karet di pedalaman Riau, masyarakat Pamona atau Loinang yang berkebun coklat (cocoa) di pedalaman Sulawesi Tengah, atau suku-suku bangsa yang berkebun coklat di pedalaman Sarmi, Irian Jaya (Purba, 2005:42-57).
Revitalisasi nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lingkungan lokal kampung-kampung tradisional sangat bersentuhan dengan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan. Pendekatan terpadu dan terintegrasi antara lansekap ekologi dengan kearifan lingkungan masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan belum menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat, karena hanya menitikberatkan sektor pariwisata saja. Oleh karena itu prinsip lingkungan seperti keberlanjutan lingkungan (environmentally sustainable), dapat diterima oleh masyarakat lokal dan nasional (socially acceptable) dan teknologi managable (misalnya secara teknologi dapat ditingkatkan masalah daya dukung lingkungan pertaniannya).
Di ekoregion Jawa khususnya, tercatat sekitar ada sekitar 12 kampung adat Sunda yang masih memegang tradisi penjagaan hutan dan sumber air dan dijadikan objek kunjungan wisata oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, kampung-kampung tersebut dijadikan acuan oleh pemerintah untuk pola pembangunan pariwisata berkelanjutan, baik sebagian masuk kepada ekowisata (Yunas, 2007), maupun rural tourism, natural tourism, dan cultural tourism.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Sedang menurut World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang (Haryanto, 2012: 4-5). Lebih lanjut, pada awalnya konsep pariwisata berkelanjutan dalam bentukarea protection sebagai sarana untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan misalnya Taman Nasional. Namun demikian seiring dengan perkembangan teori, salah satu bentuk produk pariwisata sebagai turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep ekowisata. Dimana fokus utama ekowisata ini adalah gabungan berbagai kepentingan yang muncul dari kepedulian terhadap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kelestarian alam dan budaya juga dikedepankan (Dirawan, 2008 dalam Haryanto, 2012: 5-6).
Ekowisata adalah sebagian dari sustainable tourism. Sustainable tourism adalah sektor ekonomi yang lebih luas dari ekowisata yang mencakup sektor-sektor pendukung kegiatan wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan bisnis (business travel). Ekowisata berpijak pada wisata pedesaan, wisata alam dan wisata budaya (Nugroho, 2011: 15).
Kampung-kampung tradisional adat Sunda yang berada di ekoregion Jawa, khususnya Jawa Barat secara vegetasi banyak didominasi oleh hutan hujan tropis dataran rendah (lowland tropical rainforest) (Whitten, 1999) dan berdasarkan pembagian ekosistem hutan oleh van Stenis (1972) diklasifikasikan berdasarkan ketinggian tempat termasuk pada Zona Colin yang mencapai ketinggian antara 500—1000 meter di atas permukaan laut dan biasanya didominasi vegetasi yang unik yakni Rasamala (Altingia excelsa), Saninten (Castanopsis javanica), Kiriung Anak (C. accuminatissimia), dan Pasang (Quercus gemelliflora).
Bebarapa kampung-kampung tradisional adat Sunda di antaranya adalah Kampung Baduy Desa Ciboleger, Banten Selatan; Kampung Kasepuhan (Ciptagelar, Sirnaresmi, dan lain-lain) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang masuk dalam Kabupaten Sukabumi; Kampung Mahmud Desa Mekarrahayu, Margaasih, Bandung; Kampung Cikondang Desa Lamajang, Pangalengan, Bandung; Kampung Kuta Desa Karangpaningal, Tambaksari, Ciamis; Kampung Naga Desa Neglasari, Sawalu, Tasikmalaya; Kampung Dukuh Desa Cijambe, Cikelet, Kabupaten Garut; Kampung Pulo Desa Cangkuang, Leles, Kabupaten Garut; Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Sukajaya, Bogor; Kampung Tonggoh Desa Cilaut, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut; Kampung Cigenclang Desa Cisampih, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang; dan Kampung Palastra, Kecamatan Palastra, Kabupaten Majalengka.
Seiring juga dengan makin menyusutnya hutan alam di Pulau Jawa, yang rata-rata kerusakan setiap tahun adalah 1,3 juta ha (1,2%) hingga akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta ha atau 7% dari luas total Pulau Jawa (Hidayat, 2008:88). Maka modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat adat diharapkan untuk menjaga agar tutupan lahan (land coverage) masih dapat terjaga, baik itu dalam bentuk wanatani (agroforestry) maupun destinasi wisata desa-desa konservasi yang berwawasan lingkungan, khususnya kampung-kampung tradisional Sunda di Jawa Barat.
Dibandingkan dengan daerah tujuan wisata di Pulau Jawa lainnya, ada beberapa alasan mengapa kampung-kampung adat Sunda ini memiliki kelebihan. Diantaranya adalah: 1. Dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara kuantitas lebih banyak memiliki objek dead monument, seperti peninggalan purbakala (candi, megalitik, dan lain sebagainya) dibandingkan dengan living monument, seperti masyarakat tradisional. 2. Kampung-kampung yang tersebar di Jawa Barat secara sosial-budaya memiliki banyak persamaan, seperti sistem nilai (value system) dalam konservasi hutan (leuweung). 3. Di Jawa Barat memiliki karakteristik ekosistem hutan hujan dataran rendah (lowland tropical rain forest) yang memiliki keanekaragam yang tinggi (endemik: Owa Jawa/Hylobath moloch, Elang Jawa/Spizaetus barthlesi, dan lainnya). Ditambah karakter sosial-kultural masyarakatnya yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

KAWASAN EKOLOGI PADA ADAT TRADISIONAL SUNDA

Kearifan lingkungan binaan di pedesaan Sunda telah banyak diteliti dan dimanfaatkan (revitalisasi). Istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa ini menunjuk pada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial. Sunda, Tanah Sunda, Tatar Sunda, Pasundan, dan Tanah Pasundancenderung digunakan dalam rangka pengertian orang dan kebudayaan (Ekadjati, 1995: 14). Perkembangan masyarakat Jawa Barat yang berintikan kebudayaan Sunda bertitik tolak dari corak kehidupan desa (yang terdiri dari beberapa kampung). Kemudian, pada lingkungan-lingkungan masyarakat tertentu, terutama di lingkungan pusat perdagangan, berkembang menuju kearah corak kehidupan kota. Pada masyarakat desa di Sunda ditandai oleh kehidupan yang cenderung homogen dan berputar sekitar kehidupan bertani yang dulunya berladang (Ekadjati, 1995: 109).
Menurut Ekadjati (1995: 125-128) lebih lanjut, pembagian desa Sunda bisa dibagi menjadi letak geografisnya (desa pegunungan, desa dataran rendah, dan desa pantai). Berdasarkan mata pencahariannya (desa pertanian, desa nelayan, dan desa kerajinan). Berdasarkan pengelompokan bangunannnya (desa linear, desa radial, desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka). Penyebaran dan perluasan kampung-kampung suatu desa memungkinkan terbentuknya dua macam pola desa tersebar dan terkonsentrasi. Desa yang berpola tersebar ialah desa-desa yang lokasi kampung-kampungnya tersebar di beberapa tempat yang terpisah oleh sawah, kebun, sungai, jalan, bukit, lembah, atau hutan.
Adapun desa yang berpolakan konsentrik ialah desa yang letak kampung-kampungnya berpusat di satu lokasi tertentu biasanya mengelilingi bangunan-bangunan sarana desa (balai desa, mesjid, sekolah, madrasah). Pada umumnya, desa dengan pola terkonsentrasi luas wilayahnya lebih sempit dari pada desa dengan pola tersebar. Pola kampung-kampung di dekat kawasan hutan biasanya terkait dengan ekoreligi padi. Kawasan bukit atau gunung adalah suatu tempat yang mempunyai arti yang sangat penting. Ada keterkaitan antara gunung dengan kepercayaan bahwa arwah bersemayam di gunung tersebut. Kini gunung ataupun bukit memiliki arti keramat bagi masyarakat sekitarnya. Gunung atau bukit dianggap memberikan kehidupan, karena sebagian besar masyarakatnya bermata-pencaharian berladang dan bertani (personifikasi Dewi Padi sebagai simbol kesuburan dan pelindung pertanian). Oleh karena itu, bukit atau gunung yang masih memiliki tegakkan pohon (misalnya dianggap oleh warga Kasepuhan sebagai sirah cai (kepala air) atau leuweung).
Pada kampung-kampung di batasi oleh daerah yang sakral (leluhur) sebagai pelindung kampung dan di kelilingi oleh sungai yang mengalir sebagai simbol kesuburan. Orientasi kampung biasannya mengacu pada arah terbit-tenggelamnya matahari. Selain itu adanya hubungan antara tata letak rumah dan lumbung (leuit) yang memiliki arah hadap barat-timur (Wessing, 2003: 521-523).
Konsep wilayah masyarakat Sunda berbentuk kampung dipengaruhi oleh konsep patempatan.Patempatan adalah konsep (norma) tentang tempat, sedangkan kampung terikat dengan batas wilayah penduduk adat-istiadat (komunitas). Di pedesaan, pola kampung masyarakat Sunda biasanya dipengaruhi oleh mata pencaharian. Masyarakat Sunda umumnya memberikan penamaan pada kampung mereka berdasarkan pada fenomena seperti ukuran kampung, letak kampung menurut arah angin, tinggi rendah kontur, waktu pembentukan kampung, kedekatan dengan sungai, atau gunung yang ada di sekitarnya. Berdasarkan perbedaan ukuran kampung, terdapat istilah kampung gede untuk pemukiman besar, kampung untuk pemukiman sedang, dan kampung leutik untuk pemukiman yang jumlah rumahnya relatif sedikit (tetapi lebih besar dari babakan) (Salura, 2007:22). Tabel berikut menjelaskan hubungan manusia Sunda dengan kompleks wadah dan tempat serta empat kategori wadah.

DAFTAR PUSTAKA



Selasa, 30 September 2014

GREEN BUILDING TEMA LINGKUNGAN

Nama  : Muhammad Luthfi Fazrin
Kelas   : 2TB06
NPM   : 26313025


GREEN BUILDING
ALAM DAN LINGKUNGAN

Green Building adalah bangunan dimana sejak dimulai dalam tahap perencanaan, pembangunan, pengoperasian hingga dalam operasional pemeliharaannya memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan penghuninya yang semuanya berpegang kepada kaidah bersinambungan.

Istilah Green building merupakan upaya untuk menghasilkan bangunan dengan menggunakan proses-proses yang ramah lingkungan, penggunaan sumber daya secara efisien selama daur hidup bangunan sejak perencanaan, pembangunan, operasional, pemeliharaan, renovasi bahkan hingga pembongkaran.

Bangunan hijau (green building) didesain untuk mereduksi dampak lingkungan terbangun pada kesehatan manusia dan alam, melalui : efisiensi dalam penggunaan energi, air dan sumber daya lain ; perlindungan kesehatan penghuni dan meningkatkan produktifitas pekerja ; mereduksi limbah / buangan padat, cair dan gas, mengurangi polusi / pencemaran padat, cair dan gas serta mereduksi kerusakan lingkungan.
Untuk mencapai target tersebut, pihak PU selaku owner bersama dengan tim Perencana, Pengawas, dan PT. PP (Persero) Tbk berusaha untuk memenuhi 6 (enam) aspek yang menjadi pedoman dalam evaluasi penilaian Green Building oleh tim GBCI (Green Building Council Indonesia) yang terdiri dari :
·         Tepat Guna Lahan (Approtiate Site Development / ASD)
·         Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency & Conservation / EEC)
·         Konservasi Air (Water Conservation / WAC)
·         Sumber dan Siklus Material (Material Resource and Cycle / MRC)
·         Kualitas Udara & Kenyamanan Ruang (Indoor Air Health and Comfort / IHC)
·         Manajemen Lingkungan Bangunan (Building and Environment Management / BEM)

Beberapa hal telah dilakukan guna mewujudkan predikat Greed Building, dimulai dari tahap perancangan bangunana oleh tim perencana hingga dalam proses pelaksanaan konstruksi oleh PT. PP (Persero) Tbk.



Penerapan aspek Green Building dari segi design bangunan yaitu :

1.      Bentuk dan Orientasi Bagunan
Gedung Menteri Kementerian Pekerjaan Umum memiliki bentuk massa bangunan yang tipis, baik secara vertikal maupun horizontal. Sisi tipis di puncak gedung didesain agar mampu menjadi shading bagi sisi bangunan dibawahnya sehingga dapat membuat bagian tersebut menjadi lebih sejuk.Pada desain gedung ini memiliki area opening yang lebih banyak di sisi timur.hal ini dikarenakan cahaya pada sore hari (matahari barat) lebih bersifat panas dan menyilaukan.

2.      Shading & Reflektor
Shading light shelf bermanfaat mengurangi panas yang masuk ke dalam gedung namun tetap memasukan cahaya dengan efisien. Dengan light shelf, cahaya yang masuk kedalam bangunan dipantulkan ke ceilin. Panjang shading pada sisi luar light shelf ditentukan sehingga sinar matahari tidak menyilaukan aktifitas manusia di dalamnya. Cahaya yang masuk dan dipantulkan ke ceiling tidak akan menyilaukan namun tetap mampu memberikan cahaya yang cukup.

3.      Sistem Penerangan
Sistem penerangan dalam bangunan menggunakan intelegent lighting system yang dikendalikan oleh main control panel sehingga nyala lampu dimatikan secara otomatis olehmotion sensor & lux sensor. Dengan begitu, penghematan energy dari penerangan ruang akan mudah dilakukan.

4.      Water Recycling System
Water Recycling System berfungsi untuk mengolah air kotor dan air bekas sehingga dapat digunakan kembali untuk keperluan flushing toilet ataupun sistem penyiraman tanaman.Dengan sistem ini, penggunaan air bersih dapat dihemat dan menjadi salah satu aspek penting untuk menunjang konsep green building.

Konsep Pembangunan Green Building
Beberapa aspek utama green building antara lain :

1)      Material
Material yang digunakan untuk membangun harus diperoleh dari alam, dan merupakan sumber energi terbarukan yang dikelola secara berkelanjutan.Daya tahan material bangunan yang layak sebaiknya teruji, namun tetap mengandung unsur bahan daur ulang, mengurangi produksi sampah, dan dapat digunakan kembali atau didaur ulang.

2)      Energi
Penerapan panel surya diyakini dapat mengurangi biaya listrik bangunan.Selain itu, bangunan juga selayaknya dilengkapi jendela untuk menghemat penggunaan energi, terutama lampu dan AC. Untuk siang hari, jendela sebaiknya dibuka agar mengurangi pemakaian listrik.Jendela tentunya juga dapat meningkatkan kesehatan dan produktivitas penghuninya. Green buildingjuga harus menggunakan lampu hemat energi, peralatan listrik hemat energi, serta teknologi energi terbarukan, seperti turbin angin dan panel surya.

3)      Air
Penggunaan air dapat dihemat dengan menginstal sistem tangkapan air hujan. Cara ini akan mendaur ulang air yang dapat digunakan untuk menyiram tanaman atau menyiram toilet. Gunakan pula peralatan hemat air, seperti pancuran air beraliran rendah, tidak menggunakanbathtub di kamar mandi, menggunakan toilet hemat air, dan memasang sistem pemanas air tanpa listrik.

4)      Kesehatan
Penggunaan bahan-bahan bagunan dan furnitur harus tidak beracun, bebas emisi, rendah atau non-VOC (senyawa organik yang mudah menguap), dan tahan air untuk mencegah datangnya kuman dan mikroba lainnya.Kualitas udara dalam ruangan juga dapat ditingkatkan melalui sistim ventilasi dan alat-alat pengatur kelembaban udara.
Manfaat  Pembangunan Green Building 

        I.            Manfaat Lingkungan
·         meningkatkan dn melindungi keragaman ekosistem
·         memperbaiki kualitas udara
·         memperbaiki kualitas air
·         mereduksi limbah
·         konservasi sumber daya alam

      II.            Manfaat Ekonomi
·         Mereduksi biaya operasional
·         Menciptakan dan memperluas pasar bagi produk dan jasa hijau
·         Meningkatkan produktivitas penghuni
·         Mengoptimalkan kinerja daur hidup ekonomi




    III.            Manfaat Sosial
·         Meningkatkan kesehatan dan kenyamanan penghuni
·         Meningkatkan kualitas estetika
·         Mereduksi masalah dengan infrastruktur local


PENGARUH TERHADAP LINGKUNGAN DAN ALAM

Pada dekade terakhir ini, kesadaran global tentang lingkungan hidup, khususnya dalam bidang arsitektur, meningkat dengan tajam.Gerakan hijau berkembang pesat tidak hanya sekedar melindungi sumber daya alam, tetapi juga pada implementasinya dalam rangka efisiensi penggunaan energi dan meminimalisir kerusakan lingkungan.Perancangan arsitektur sedikit banyak telah berubah, merefleksikan sikap masyarakat yang makin peduli terhadap lingkungan hidup.Demikian pula ketersediaan produk ramah lingkungan yang makin mudah diperoleh di pasar.
Secara umum dapat disampaikan bahwa menuju bangunan yang ramah lingkungan adalah mengukur dampak pada lingkungan luar (bangunan) dan membantu memperbaiki lingkungan dalam (bangunan). Biasanya beberapa aspek yang diperiksa adalah antara lain: rancangan arsitektur bangunan, metodologi membangun, material bangunan, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air dan life cycle ecological living.

Apa yang membuat bangunan yang bagus dapat dikatakan ramah lingkungan?
Apa yang membuat bangunan yang ramah lingkungan dapat dikatakan bagus?
Rasanya tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan tersebut.Definisi tentang bangunan ramah lingkungan tidak dapat dijawab hanya dengan satu definisi.Sebuah bangunan di gunung tentu mempunyai efisiensi yang berbeda dengan perhitungan terhadap bangunan di pesisir pantai. Tinggal di lantai atas sebuah apartment tower berbeda dengan tinggal di sebuah landed house. Masing-masing bangunan dapat mempunyai jawaban sendiri karena merupakan rancangan yang dibangun terhadap kondisi yang berbeda-beda. Walaupun demikian, ada sebuah pendekatan umum untuk merancang bangunan yang ramah lingkungan, yaitu sebagai berikut:

Langkah pertama adalah mengenali lokasi anda tinggal. To Know Where You Are.
Langkah ini mempertanyakan bagaimana kualitas lingkungan hidup di sekitar dan bagaimana kemungkinan tingkat kualitas hidup yang akan dapat dicapai. Kesadaran tentang kondisi lokasi akan sangat penting dalam usaha memperoleh bangunan yang ramah lingkungan, baik dalam rangka renovasi bangunan, membeli rumah baru ataupun membangun rumah dari awal.
Langkah berikutnya adalah mempertimbangkan ukuran bangunan. Size Does Matter.
Berlawanan dengan pandangan umum bahwa makin besar ruangan maka makin baik bagi penggunanya, terutama pada bangunan rumah tinggal, pada pendekatan bangunan ramah lingkungan tidak selalu demikian. Lebih besar tidak lebih baik, karena makin kecil (baca: sederhana) bangunan maka akan makin lebih baik kontrol aspek lingkungan terhadap bangunan tersebut.

Langkah ketiga adalah, menyadari bahwa kita harus menetapkan sendiri bahwa kita memang ingin membangun bangunan yang ramah lingkungan. Kesadaran ini menjadi faktor penting karena akan membantu kita fokus pada usaha perancangan yang realistis: penghematan energi dan perlindungan terhadap berbagai sumber alam yang akan dipakai.

Langkah keempat lebih banyak bersifat teknis, yaitu mempelajari alternatif metode membangun (alternatives to conventional construction methods) dan menggunakan material yang tepat guna (encourage wise uses of materials).
Bagi arsitek, merancang bangunan ramah lingkungan sesungguhnya adalah sebuah proses. Tujuannya bukan membuat bangunan yang sempurna, melainkan menciptakan bangunan yang lebih baik. Pendekatan umum yang digambarkan melalui beberapa langkah tersebut diatas, oleh Prof. Jong-jin Kim cs dari College of Architecture and Urban Planning University of Michigan, dikemas menjadi prinsip-prinsip perancangan bersinambungan (sustainable design) dalam konteks rancangan arsitektur yang ramah lingkungan. Prinsip-prinsip ini meliputi:
·         Penghematan sumber daya alam (economy of resources), yang memperhatikan aspek pengurangan, pemakaian kembali dan pemakaian ulang berbagai bahan alam yang digunakan pada bangunan. Beberapa masalah utama yang diperhatikan disini meliputi antara lain masalah penghematan penggunaan energi, konservasi air dan penggunaan material bangunan. Dengan melakukan penghematan ini arsitek akan mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non renewable resources) baik pada masa pembangunan maupun selama bangunan beroperasi.
·         Daur hidup (life cycle design), yaitu metodologi untuk menganalisa proses membangun dan dampaknya terhadap lingkungan. Proses membangun yang dimaksud meliputi seluruh tahapan sejak tahap sebelum membangun (pre-building phase), selama membangun (building phase) sampai bangunan difungsikan (post building phase). Model konvensional dari sebuah daur hidup bangunan adalah design – construction – operation – demolition. Pada prinsip ini dimasukkan pendekatan yang mengenali adanya konsekuensi/dampak terhadap lingkungan pada setiap proses dalam model daur hidup itu. Pendekatan ini pada dasarnya adalah untuk mengurangi dampak negatif dan menambah umur hidup material bangunan. Sebuah material bangunan yang habis masa pakainya akan dapat berubah bentuk sebagai material baru, dan dengan demikian akan selalu dapat dipakai ulang.
·         Rancangan yang manusiawi (humane design), yaitu prinsip yang fokus terhadap interaksi antara manusia dengan lingkungan. Prinsip ini berkaitan dengan adaptasi rancangan terhadap kondisi alam, urban design dan perencanaan tapak, serta tingkat kenyamanan bangunan yang akan dicapai. Dua prinsip pertama berkaitan dengan hal efisiensi dan konservasi, sementara prinsip yang ketiga ini berkaitan dengan keharmonisan hidup semua konstituen ekosistem: elemen non organik, organisme hidup dan manusia. Prinsip ini tampaknya tumbuh dari filosofi pemikiran untuk menghargai keberadaan seluruh benda dan mahluk hidup di muka bumi.

Akhirnya, untuk dapat merancang bangunan yang ramah lingkungan, arsitek harus belajar tentang masalah lingkungan hidup.Pendidikan arsitektur harus dapat menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan dan memperkenalkan mahasiswa kepada etika lingkungan, serta mengembangkan keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge base in sustainable design).
Saat ini mungkin status rancangan arsitektur ramah lingkungan masih berada dalam tataran etika daripada dalam tataran ilmu pengetahuan. Perubahan gaya hidup dan sikap terhadap lingkungan adalah penting, tetapi pengembangan keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan tidak kalah pentingnya. Pengembangan keahlian ini pada saatnya akan menghasilkan ketrampilan, teknik dan metode dalam praktek perancangan bangunan yang ramah lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA