NAMA :
MUHAMMAD LUTHFI FAZRIN
KELAS :
1TB03
NPM : 26313025
Judul : Manusia Setengah Salmon
Penulis : Raditya Dika
Editor : Windy Ariestanty
Proofreader : Gita Romadhona
Penata Letak : Nopianto Ricaesar
Desain cover & ilustrasi isi : Adriano Rudiman
Penerbit : GagasMedia
Terbit : 2011 (Cet. 1), 2012 (Cet. 5)
ISBN : 979-780-531-X
Bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita
cintai? Sedih, marah, atau kecewa? Beragam jawaban yang kita dapat, nampaknya
belum cukup untuk menggambarkan isi hati seseorang. Tapi, pernahkah kita
berpikir bahwa sebenarnya dibalik semua kekecewaan yang kita dapatkan, ada satu
celah yang bila dirasakan secara lebih mendalam, akan menimbulkan sensasi humor
yang luar biasa menghibur? Nah, Manusia Setengah Salmon telah
membuktikannya.
Terlahir ke dunia nyata pada tanggal 24 Desember 2011,
Manusia Setengah Salmon hadir seraya mengiringi pergantian tahun. Satu
momen ketika manusia berpesta merayakan sebuah perpindahan dari tahun yang lama
ke tahun yang baru. Manusia Setengah Salmon sukses mengambil titik
‘perpindahan’ tersebut dengan sangat elegan dan mengharukan.
Seperti pada buku-buku sebelumnya, Raditya Dika tetap
mempertahankan materi humor kental ditambah gaya bahasa yang khas di buku Manusia
Setengah Salmon ini. Lucu, nyeleneh, dan tentu saja menghibur.
Sumber inspirasinya juga tetap sama, mengenai literatur kehidupan sang penulis
itu sendiri. Oleh karena itu, buku ini tergolong ke dalam kategori personal
literature atau biasa disebut PELIT.
Tetapi, ada satu hal yang membuat buku ini nampak
berbeda dari buku-buku sebelumnya. Manusia Setengah Salmon bukan hanya
sekedar novel komedi belaka. Bukan hanya kumpulan kalimat candaan yang tidak
bermakna. Buku ini menonjolkan unsur kehidupan sosial dalam balutan humor.
Menceritakan tentang berbagai macam hal menyedihkan yang sebenarnya ada celah
dan pelajaran yang bisa kita ambil dari hal-hal tersebut.
Salah satu bagian yang menjadi primadona adalah ketika
Raditya Dika mencoba menceritakan tentang kegelisahannya sewaktu ia baru saja
ditinggalkan oleh kekasihnya. Sama seperti kebanyakan orang, hal pertama yang
dirasakan ketika putus cinta adalah kesedihan, kegalauan, dan kekecewaan. Tapi,
Manusia Setengah Salmon berhasil meyakinkan bahwa tidak semua hal
menyakitkan harus berakhir dengan kesedihan. Seperti pada cerita yang berjudul Sepotong
Hati di Dalam Kardus Cokelat. Bercerita tentang dua peristiwa yang sama
tapi berbeda konteks, putus cinta dan pindah rumah. Secara kontekstual, tidak
ada kesamaan antara keduanya. Tetapi buku ini secara gamblang menjelaskan bahwa
kedua peristiwa tersebut adalah hal yang serupa. Iya, perpindahan.
“Putus cinta sejatinya adalah sebuah kepindahan.
Bagaimana kita pindah dari satu hati, ke hati yang lain. Kadang kita rela untuk
pindah, kadang kita dipaksa untuk pindah oleh orang yang kita sayang, kadang
bahkan kita yang memaksa orang tersebut untuk pindah. Ujung-ujungnya sama: kita
harus bisa maju, meninggalkan apa yang sudah menjadi ruang kosong.”
Raditya Dika mengibaratkan putus cinta sama halnya
dengan pindah rumah. Saat dimana seseorang harus bisa merapikan barang-barang
dan memasukkannya ke dalam sebuah kardus untu nantinya diikat dan tidak pernah
tahu kapan kardus itu akan dibuka. Sama seperti putus cinta bukan?
Maka dengan cerdas, kegelisahan ini langsung dialihkan
melalui sebuah dialog antar tokoh dengan menyelipkan beberapa banyolan ringan
yang sama sekali tidak melunturkan efek mellow dari cerita tersebut.
Hingga pada akhirnya, cerita tentang ‘perpindahan’ ini
diakhiri dengan sebuah paragraf singkat.
“Gue berhenti melamun, melanjutkan memasukkan beberapa
buku ke kardus. Lalu, gue melihat Nyokap, mengangguk pelan. Kardus terakhir gue
tutup dengan lakban, lalu gue angkat untuk bergabung dengan yang lainnya.
Sambil berharap, tidak ada yang tertinggal.”
Materi lain yang membedakan Manusia Setengah Salmon
dengan buku-buku sebelumnya adalah penonjolan unsur kekeluargaan. Ada salah
satu cerita, yang nampaknya didedikasikan untuk Ibu dari sang penulis. Judulnya
adalah Kasih Ibu Sepanjang Belanda. Disini diceritakan tentang
perjalanan penulis selama seminggu di negeri Belanda. Namun selama itu, Raditya
Dika selalu saja dihubungi oleh Ibunya karena khawatir akan keadaannya.
Berkali-kali sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak mempedulikan bunyi
telepon. Singkat cerita, ada sebuah peristiwa yang akhirnya menyadarkannya
bahwa sebenarnya terlalu perhatiannya orangtua adalah gangguan terbaik yang
pernah kita terima.
Selain dua materi diatas, ada juga beberapa cerita
yang memang dirancang khusus untuk membuat pembaca tertawa terbahak-bahak.
Murni komedi dan tentu saja menyegarkan.
Satu poin yang sekali lagi menjadikan buku ini sangat
direkomendasikan untuk dibaca adalah penempatan urutan cerita. Penulis berhasil
membuat perasaan pembaca naik turun. Tidak melulu sedih dan tidak melulu
tertawa terbahak-bahak. Ada kalanya dimana sebuah cerita yang termasuk dalam
kategori mengharukan diletakkan berdekatan dengan cerita murni komedi. Bisa
disebut permainan rasa.
Dan pada akhirnya, buku ini benar-benar sangat
direkomendasikan untuk kita, terutama mahasiswa, sebagai salah satu koleksi
wajib.