Kelas : 2TB06
NPM : 26313025
KAWASAN BINAAN EKOLOGI
PENGERTIAN EKOLOGI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang apa saja interaksi sosial dan bermasyaraka dan juga interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan
yang lainnya. Berasal dari
kata Yunani oikos ("habitat")
dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi
antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914). Dalam
ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atausistem dengan
lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari
pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya,
yaitu faktor abiotikdan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air,
kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk
hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga
berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi,
komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu
sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi merupakan cabang ilmu yang
masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an.Akan
tetapi, ekologimempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya.
Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan
kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda
tak hidup di dalam tempat hidupnya atau
lingkungannya. Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya
saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang
menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan,
dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai
makanan manusia dan tingkat tropik.
Para ahli ekologi mempelajari hal
berikut.
1.
Perpindahan energi dan materi dari
makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan
faktor-faktor yang menyebabkannya.
2.
Perubahan populasi atau
spesies pada waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya.
3.
Terjadi hubungan antarspesies
(interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Kini para ekolog(orang yang
mempelajari ekologi)berfokus kepada Ekowilayah bumi dan riset
perubahan iklim.
Salah satu contoh kawasan Ekologis
adalah pada bangunan rumah yang ada di BORNEO DAN SURABAYA
CONTOH BINAAN EKOLOGI PADA
BANGUNAN DAN WISATA
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati
yang terkaya setelah negara Brasil. Secara bioregional Indonesia terbagi
menjadi tujuh biogeografik region, yaitu bio-regional Sumatera, Jawa, Bali,
Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Dalam
setiap bioregional tersebut telah ditetapkan sejumlah taman nasional (Sugandhy,
2006). Selain itu, Indonesia kaya akan budaya baik yang tangible (tersentuh) maupun intangible (tidak tersentuh). Contohnya, candi,
mesjid kuna dan lain-lain, maupun benda budaya yang intangible, yaitu
benda tak berwujud.
Benda-benda
budaya seperti sastra, musik, permainan dan olah raga tradisional, teater, dan
tata upacara juga ikut berperan dalam proses pembentukan karakter bangsa. Modal
heritage/warisan tersebut dapat pula berperan sebagai sumber devisa/moneter
yang non destructive dengan
mengedepankan upaya konservasi pada cultural
heritage (warisan budaya) dan natural heritage(warisan
alam) (Komunikasi pribadi dengan Dr. dr. Boedhihartono, Ahli Antropologi
Universitas Indonesia, Jakarta pada tanggal 12 April 2011).
Sebagai catatan, di Indonesia menurut Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata hingga November 2008 terdapat 8.449 BCB/ Situs yang telah di
Inventarisasi dan ada 408 BCB/Situs yang baru ditetapkan diseluruh Indonesia,
dan yang hanya dipelihara hanya 1.847 BCB/Situs yang dipelihara (Direktorat
Purbakala, Ditjen Sejarah dan Purbakala, 2008). Ini berarti bahwa seperdelapan
saja dari total BCB yang dipelihara hingga kini. Oleh karenanya telah banyak
terjadi kehancuran Benda Cagar Budaya baik fisik bangunannya maupun
lingkungannya (Mundardjito, 1995).
Belum
lagi masyarakat-masyarakat tradisional di Indonesia yang semakin hari semakin
menyusut hutan-hutan tempat mereka hidup, seperti penebangan liar (illegal
logging). Sebut saja, Masyarakat yang hidup dan tergantung dari
hutan di Indonesia adalah masyarakat pedalaman, yang terdiri dari masyarakat
pemburu dan peramu; masyarakat peladang berpindah; masyarakat peladang menetap
dan masyarakat pertanian menetap. Pada masyarakat pemburu dan peramu sangat
tergantung dari sumber daya alam atau hutan. Lingkungan hutan tropis banyak
dimanfaatkan dengan teknologi dan pengetahuan tradisonal untuk kegiatan
subsistensi. Misalnya, Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi, Orang Sakai di
pedalaman Riau, Orang Asmat di pedalaman Irian Jaya bagian selatan, Orang
Nuaulu di pedalaman Pulau Seram, Maluku. Masyarakat pemburu dan peramu ini
banyak terdapat pada kawasan hutan lindung.
Bagi masyarakat peladang berpindah (slash and burn farmer),
mamanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan yang relatif
luas untuk kelangsungan hidupnya. Kehidupan ekonomi mereka sehari-hari ditandai
oleh kegiatan berladang tanaman pangan (padi-padian atau ubi-ubian) secara
berpindah-pindah secara teratur (berpindah di lahan hutan). Pemberlakuan masa bera (hutan sebelum dan sesudah digunakan
untuk ladang) biasa disebut juga dengan hutan sekunder (sunda:huma).
Pada saat ini, masyarakat peladang berpindah tidak hanya mengandalkan tanaman
pangan. Tetapi makin banyak didukung oleh penjualan hasil hutan seperti kayu,
rotan, dan damar. Selain itu, masyarakat telah menanam tanaman komoditi,
seperti kopi, karet, coklat, cengkeh, dan sebagainya. Contohnya adalah Orang
Talang Mamak di pedalaman Riau, Orang Dayak (Kantu) di pedalaman Kalimantan
Tengah, Orang Baduy di Jawa Barat, Orang Wana di pedalaman Sulawesi Tengah, dan
Orang Dani di pedalaman Irian Jaya.
Masyarakat peladang menetap
memanfaatkan sumber daya pertanian dan hutan untuk tanaman komoditi ekspor.
Seperti, masyarakat Siladang yang berladang gambir di pedalaman Sumatera Barat,
masyarakat Rejang Lebong yang berladang kopi di pedalaman Bengkulu, masyarakat
Talang Mamak di Indragiri Hulu atau Kuantan dan Kampar yang berkebun karet di
pedalaman Riau, masyarakat Pamona atau Loinang yang berkebun coklat (cocoa) di
pedalaman Sulawesi Tengah, atau suku-suku bangsa yang berkebun coklat di
pedalaman Sarmi, Irian Jaya (Purba, 2005:42-57).
Revitalisasi
nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lingkungan lokal kampung-kampung
tradisional sangat bersentuhan dengan pembangunan berkelanjutan berbasis
lingkungan. Pendekatan terpadu dan terintegrasi antara lansekap ekologi dengan
kearifan lingkungan masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan belum
menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat, karena hanya menitikberatkan
sektor pariwisata saja. Oleh karena itu prinsip lingkungan seperti
keberlanjutan lingkungan (environmentally sustainable),
dapat diterima oleh masyarakat lokal dan nasional (socially acceptable)
dan teknologi managable (misalnya secara teknologi dapat ditingkatkan masalah
daya dukung lingkungan pertaniannya).
Di
ekoregion Jawa khususnya, tercatat sekitar ada sekitar 12 kampung adat Sunda
yang masih memegang tradisi penjagaan hutan dan sumber air dan dijadikan objek
kunjungan wisata oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, kampung-kampung
tersebut dijadikan acuan oleh pemerintah untuk pola pembangunan pariwisata
berkelanjutan, baik sebagian masuk kepada ekowisata (Yunas, 2007), maupun rural tourism, natural tourism,
dan cultural tourism.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti dalam Piagam
Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara
ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial
terhadap masyarakat. Sedang menurut World Tourism
Organization (WTO)
mendefinisikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong
kesempatan untuk waktu yang akan datang (Haryanto, 2012: 4-5). Lebih lanjut,
pada awalnya konsep pariwisata berkelanjutan dalam bentukarea protection sebagai sarana untuk menjaga
kelestarian dan keberlanjutan misalnya Taman Nasional. Namun demikian seiring
dengan perkembangan teori, salah satu bentuk produk pariwisata sebagai turunan
dari konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep ekowisata. Dimana fokus
utama ekowisata ini adalah gabungan berbagai kepentingan yang muncul dari
kepedulian terhadap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kelestarian alam
dan budaya juga dikedepankan (Dirawan, 2008 dalam Haryanto, 2012: 5-6).
Ekowisata adalah sebagian dari sustainable
tourism. Sustainable
tourism adalah sektor
ekonomi yang lebih luas dari ekowisata yang mencakup sektor-sektor pendukung
kegiatan wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun tourism),
wisata pedesaan (rural
and agro tourism), wisata budaya (cultural tourism),
atau perjalanan bisnis (business
travel). Ekowisata berpijak pada wisata pedesaan, wisata alam dan
wisata budaya (Nugroho, 2011: 15).
Kampung-kampung
tradisional adat Sunda yang berada di ekoregion Jawa, khususnya Jawa Barat
secara vegetasi banyak didominasi oleh hutan hujan tropis dataran rendah (lowland
tropical rainforest) (Whitten, 1999) dan berdasarkan pembagian
ekosistem hutan oleh van Stenis (1972) diklasifikasikan berdasarkan ketinggian
tempat termasuk pada Zona Colin yang mencapai ketinggian antara 500—1000 meter
di atas permukaan laut dan biasanya didominasi vegetasi yang unik yakni
Rasamala (Altingia
excelsa), Saninten (Castanopsis javanica),
Kiriung Anak (C.
accuminatissimia), dan Pasang (Quercus gemelliflora).
Bebarapa kampung-kampung
tradisional adat Sunda di antaranya adalah Kampung Baduy Desa Ciboleger, Banten
Selatan; Kampung Kasepuhan (Ciptagelar, Sirnaresmi, dan lain-lain) di kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang masuk dalam Kabupaten Sukabumi;
Kampung Mahmud Desa Mekarrahayu, Margaasih, Bandung; Kampung Cikondang Desa
Lamajang, Pangalengan, Bandung; Kampung Kuta Desa Karangpaningal, Tambaksari,
Ciamis; Kampung Naga Desa Neglasari, Sawalu, Tasikmalaya; Kampung Dukuh Desa
Cijambe, Cikelet, Kabupaten Garut; Kampung Pulo Desa Cangkuang, Leles,
Kabupaten Garut; Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Sukajaya, Bogor; Kampung
Tonggoh Desa Cilaut, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut; Kampung Cigenclang
Desa Cisampih, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang; dan Kampung Palastra,
Kecamatan Palastra, Kabupaten Majalengka.
Seiring juga dengan makin menyusutnya hutan alam di Pulau Jawa,
yang rata-rata kerusakan setiap tahun adalah 1,3 juta ha (1,2%) hingga akhir
tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta ha atau 7%
dari luas total Pulau Jawa (Hidayat, 2008:88). Maka modal sosial yang dimiliki
oleh masyarakat adat diharapkan untuk menjaga agar tutupan lahan (land
coverage) masih dapat terjaga, baik itu dalam bentuk wanatani (agroforestry)
maupun destinasi wisata desa-desa konservasi yang berwawasan lingkungan,
khususnya kampung-kampung tradisional Sunda di Jawa Barat.
Dibandingkan dengan daerah tujuan wisata di Pulau Jawa lainnya, ada
beberapa alasan mengapa kampung-kampung adat Sunda ini memiliki kelebihan.
Diantaranya adalah: 1. Dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
secara kuantitas lebih banyak memiliki objek dead
monument, seperti peninggalan purbakala (candi, megalitik, dan lain
sebagainya) dibandingkan dengan living
monument, seperti masyarakat tradisional. 2. Kampung-kampung yang
tersebar di Jawa Barat secara sosial-budaya memiliki banyak persamaan, seperti
sistem nilai (value
system) dalam konservasi hutan (leuweung). 3. Di
Jawa Barat memiliki karakteristik ekosistem hutan hujan dataran rendah (lowland
tropical rain forest) yang memiliki keanekaragam yang tinggi
(endemik: Owa Jawa/Hylobath
moloch, Elang Jawa/Spizaetus barthlesi, dan lainnya). Ditambah karakter
sosial-kultural masyarakatnya yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
KAWASAN EKOLOGI PADA ADAT
TRADISIONAL SUNDA
Kearifan lingkungan binaan di pedesaan Sunda telah banyak
diteliti dan dimanfaatkan (revitalisasi). Istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa
ini menunjuk pada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi
pemerintahan dan sosial. Sunda,
Tanah Sunda, Tatar Sunda, Pasundan, dan Tanah
Pasundancenderung digunakan dalam rangka pengertian orang dan
kebudayaan (Ekadjati, 1995: 14). Perkembangan masyarakat Jawa Barat yang
berintikan kebudayaan Sunda bertitik tolak dari corak kehidupan desa (yang
terdiri dari beberapa kampung). Kemudian, pada lingkungan-lingkungan masyarakat
tertentu, terutama di lingkungan pusat perdagangan, berkembang menuju kearah
corak kehidupan kota. Pada masyarakat desa di Sunda ditandai oleh kehidupan
yang cenderung homogen dan berputar sekitar kehidupan bertani yang dulunya berladang
(Ekadjati, 1995: 109).
Menurut Ekadjati (1995:
125-128) lebih lanjut, pembagian desa Sunda bisa dibagi menjadi letak
geografisnya (desa pegunungan, desa dataran rendah, dan desa pantai).
Berdasarkan mata pencahariannya (desa pertanian, desa nelayan, dan desa
kerajinan). Berdasarkan pengelompokan bangunannnya (desa linear, desa radial,
desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka). Penyebaran dan perluasan
kampung-kampung suatu desa memungkinkan terbentuknya dua macam pola desa
tersebar dan terkonsentrasi. Desa yang berpola tersebar ialah desa-desa yang
lokasi kampung-kampungnya tersebar di beberapa tempat yang terpisah oleh sawah,
kebun, sungai, jalan, bukit, lembah, atau hutan.
Adapun desa yang berpolakan konsentrik ialah desa yang letak
kampung-kampungnya berpusat di satu lokasi tertentu biasanya mengelilingi
bangunan-bangunan sarana desa (balai desa, mesjid, sekolah, madrasah). Pada
umumnya, desa dengan pola terkonsentrasi luas wilayahnya lebih sempit dari pada
desa dengan pola tersebar. Pola kampung-kampung di dekat kawasan hutan biasanya
terkait dengan ekoreligi padi. Kawasan bukit atau gunung adalah suatu tempat
yang mempunyai arti yang sangat penting. Ada keterkaitan antara gunung dengan
kepercayaan bahwa arwah bersemayam di gunung tersebut. Kini gunung ataupun
bukit memiliki arti keramat bagi masyarakat sekitarnya. Gunung atau bukit
dianggap memberikan kehidupan, karena sebagian besar masyarakatnya
bermata-pencaharian berladang dan bertani (personifikasi Dewi Padi sebagai
simbol kesuburan dan pelindung pertanian). Oleh karena itu, bukit atau gunung
yang masih memiliki tegakkan pohon (misalnya dianggap oleh warga Kasepuhan
sebagai sirah cai (kepala air) atau leuweung).
Pada kampung-kampung di batasi
oleh daerah yang sakral (leluhur) sebagai pelindung kampung dan di kelilingi
oleh sungai yang mengalir sebagai simbol kesuburan. Orientasi kampung biasannya
mengacu pada arah terbit-tenggelamnya matahari. Selain itu adanya hubungan
antara tata letak rumah dan lumbung (leuit) yang memiliki arah hadap barat-timur
(Wessing, 2003: 521-523).
Konsep wilayah masyarakat Sunda berbentuk kampung dipengaruhi
oleh konsep patempatan.Patempatan adalah konsep (norma) tentang tempat,
sedangkan kampung terikat dengan batas wilayah penduduk adat-istiadat
(komunitas). Di pedesaan, pola kampung masyarakat Sunda biasanya dipengaruhi
oleh mata pencaharian. Masyarakat Sunda umumnya memberikan penamaan pada
kampung mereka berdasarkan pada fenomena seperti ukuran kampung, letak kampung
menurut arah angin, tinggi rendah kontur, waktu pembentukan kampung, kedekatan
dengan sungai, atau gunung yang ada di sekitarnya. Berdasarkan perbedaan ukuran
kampung, terdapat istilah kampung gede untuk pemukiman besar, kampung untuk
pemukiman sedang, dan kampung leutik untuk pemukiman yang jumlah rumahnya
relatif sedikit (tetapi lebih besar dari babakan)
(Salura, 2007:22). Tabel berikut menjelaskan hubungan manusia Sunda dengan
kompleks wadah dan tempat serta empat kategori wadah.
DAFTAR PUSTAKA