KOTA
TUA JAKARTA
MUSEUM
GEDUNG FATAHILLAH
Sejarah
Perkembangan Kota Tua Jakarta
Bangunan
Gedung Fatahillah
Sumber
: Wikipedia
Gambar
gedung Museum Fatahillah saat masih merupakan Balai Kota Batavia, tahun 1770
Sumber
: Wikipedia
1.
Letak
Geografis
Kota
Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari Kotamadya
Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di dua wilayah kotamadya,
yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua sebagai cikal bakal Jakarta,
tentunya menyimpan banyak cerita di balik megahnya bangunan (tua) cagar budaya
peninggalan masa lalu dari zaman kolonial Belanda.
Kota
Tua Jakarta, daerahnya berbatasan sebelah utara dengan Pasar Ikan, Pelabuhan
Sunda Kalapa dan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Jembatan
Batu dan jalan Asemka, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Krukut dan sebelah
Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung.
Kota
Tua Jakarta di masa lalu merupakan kota rebutan yang menjadi simbol kejayaan
bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Tak heran jika mulai dari Kerajaan
Tarumanegara, Kerajaan Sunda–Pajajaran, Kesultanan BantenJayakarta, Verenigde
Oost-indische Compagnie (VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik
Indonesia melalui Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya
menjadi kota nomor satu di negara ini.
Plang
Peringatan Pembangunan Museum Fatahillah yang dahulunya adalah Balai Kota
Sumber
: Wkipedia
2.
Latar
Belakang Sejarah
Sejarah
Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal sebagai Sunda
Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di dunia sebagai pelabuhan
dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien pengelana
Cina pada abad ke-5 M menceritakan bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat
sebuah wilayah kekuasaan yang disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara. Hal ini
juga terdapat di dalam kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan
utusan-utusan kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-ma)
pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo disamakan
dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau Tarumanegara.
Sagimun
(1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau Taruma berasal
dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat nila,
yakni bahan cat biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk
mewarnai kain atau sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai
di Jawa Barat, yaitu Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak
kerajaan Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.
Kerajaan
Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal, Purnawarman, wilayah kekuasaannya
meliputi kawasan Jakarta, Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui
dari tujuh buah prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta,
yakni prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak,
dan prasasti Tugu. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak
memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di pulau
Jawa, yaitu Tarumanegara.
Prasasti
Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan
Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat (Kini Museum Nasional/
Museum Gajah), danreplica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah
Jakarta atau Museum Fatahillah.
Setelah
Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda. Selama
beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan kerajaan ini
mengalami masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena tidak ada satupun
sumber sejarah (seperti prasasti atau batu bertulis) yang menceritakan tentang
aktivitas kehidupan manusia di Jawa Barat setelah Tarumanegara mengirimkan
utusannya yang terakhir pada 669 M ke negeri Cina.
Rupanya
kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar. Namun, tidak
mungkin seluruh rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari permukaan bumi.
Ada dugaan kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan
Sriwijaya (yang pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti
Keduken Bukit, Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Pada
tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya ke Bhumijawa. Hal
ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang berangka tahun saka 608 atau
tahun 686 M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa Bhumijawa tidak mau
tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya
mengirimkan tentaranya untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.
Gedung
Stadhuis di awal abad ke-20, dihubungkan dengan jalur trem ke pusat
pemerintahan di kawasan Weltevreden.
Sumber
: Wikipedia
Dugaan
ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di dalam prasasti Kota Kapur itu
jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa. Kerajaan atau negeri yang
letaknya di Bhumijawa dan berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu
adalah kerajaan Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara
diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya.
Beberapa
abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan Kalapa.
Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka kemudian
bernamaSunda Kalapa yang terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini
didasarkan atas keterangan di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15
Juni 1960.
Penjelasan
mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan seorang
pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia
perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario,
Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa) adalah
Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih
tinggi daripada lada India atau Malabar...”
Kerajaan
Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14 dan pusat pemerintahannya
terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang terkenal ketika itu adalah Sri
Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang pengelana Portugis, jumlah penduduk
kerajan Sunda Pajajaran berkisar 100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa
penduduk yang bermukim di Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.
Pelabuhan
Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah
penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang
lokal dan internasional terutama dari negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu
antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau
Sunda Kalapa.
Pelabuhan
Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya paling strategis.
Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di awal abad ke-16.
Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka telah menjalin kerjasama perdagangan
dan pertahanan dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang
diwujudkan ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong).
Sementara
itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah muncul Kesultanan
Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula Kesultanan Demak dan
Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat berminat terhadap Pelabuhan Sunda
Kalapa yang ramai itu.
Akhirnya,
pada 22 Juni 1527, Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu di bawah
pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil merebut
dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari
Sultan Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang
baru direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan
sempurna, atau kemenangan yang gilang gemilang.
Fatahillah,
kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang secara hierarkis bertanggung
jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang berkedudukan
di Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya Maulana
Hasanudin menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari
kesultanan Banten.
Penguasaan
Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-orang
Belanda di bawah bendera VOC pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil menaklukan
Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati
hingga wafat dan dikubur di sana.
JP.
Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan mengganti
nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan dijadikan
ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang
dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan
rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan
di luar benteng) Batavia.
Ternyata,
tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini terlampau
dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20, JA.
Van Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”. Namun,
terlepas dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan
Banteng), dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang
pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam tua.
Pusat
Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah
Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan
pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua
tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck
(1653-1713). Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua
dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun
1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.
Kegiatan-kegiatan
di dalam Balaikota sangat beragam, selain mengurus masalah pemerintahan juga
mengurus masalah perkawinan, catatan sipil, peradilan, tempat hukuman mati, dan
perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”.
Kemudian, Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena
banyak para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di samping itu
juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi atau Schutterij dari
tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang ketua Dewan Kota Praja.
Pada
bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah bahwa Sir
John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah
pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota
ini menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II.
Pemerintah Kota Praja Batavia pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di
samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai
Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara (Kodim
0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik,
dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota
Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan
lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada
tahun 1628 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal
JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral
Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus
dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan
kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam
serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang
berharga yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.
Di
seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion
Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu ini sekarang
masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan didalamnya. Di belakang
tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi
seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat
(pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang
dagangan seperti pala, lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting ini
sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Lebih
tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er Scheepswerf (Bengkel
Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu
galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan
kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak tahun 1632, di atas
tanah timbunan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok
(1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air
Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang
Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di
sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko
Merah dikarenakan balok, kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah. Rumah
ini di bangun sekitar tahun 1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat
gubernur jenderal. Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin
Van Het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan
kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun,
pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis. Willard A.
Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh
gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699, yang
menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air
dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu
disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan
terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan
membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut,
sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut seakan-akan mundur
sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Untuk
menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka daerah baru di
pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan yang ada secara
besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan
kota pada tahun 1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu
penyakit, yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu
bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan
kolera (pada zaman itu belum diketahui).
Pada
tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan
supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan
kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai
akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja.
Hampir
tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada
abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan
Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan
Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin,
sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian, di
lokasi yang kini menjadi tempatlangsir Stasiun Kota di sebelah utara
Gereja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru
sebagai Het graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat
berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama
para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk membangun rumah baru
di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu
banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota
tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan
rumah dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. John Crawfurd dalam
bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent
Countries (London, 1856) menuliskan : “Orang Belanda tidak memperhatikan
perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota
menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang
enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung
yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi
mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang
terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya,
meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80
tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan gempa bumi hebat yang
berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan
terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya
terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi,
kali-kali di Batavia bahkan tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur.
Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal
Daendels pada zaman Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung
dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan
sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak
kali di timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil
masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil
menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada kota
pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah
mempunyai reputasi jelek”.
Sementara
itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang
meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di
seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang
yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan
hidup.
Tragedi
ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw
Batavia(Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan
Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan
penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah tragedi ini terulang? Semua
bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba
terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.
VOC
hanya bertahan hingga 1799, setelah itu pemerintahan Nederlansche Indie (Hindia
Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah penguasaan
langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw
Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah
menghiasi kawasan ini.
Pada
1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Belanda atas
Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun Pelabuhan Batavia
digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta. Pada periode ini banyak bangunan
peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Salah satunya Amsterdam
Poort yang terletak di jalan Cengkeh sekarang. Untung saja Jepang berkuasa
tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di
Proklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota
dari Republik Indonesia.
3.
Pentingnya
Pelestarian Kota Tua Jakarta
Dengan
latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika kemudian
daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota
Tua. Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak menyimpan
bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah,
arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.
Untuk
melestarikannya, pemerintah DKI Jakarta melindungi bangunan-bangunan tersebut
berdasarkan Undang-Undang Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931, (Staatsblad
Tahun 1931 No. 238), yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21
Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934, No. 515). Upaya ini tak lepas dari peran dan
ide sang Gubernur Jakarta ketika itu, yakni Ali Sadikin (1966-1977) tatkala dirinya
banyak berkunjung ke Eropa saat menjabat sebagai Deputy Menteri Panglima
Angkatan Laut sebelum menjadi gubernur.
Bang
Ali (panggilan akrab Ali Sadikin), segera merealisasikan ide dan gagasannya itu
dengan berlandaskan pada Undang-Undang di atas ke dalam SK Gubernur No.Cb.
11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972 yang pada intinya berisi penetapan tentang
pemugaran bangunan, penetapan daerah khusus yang dilindungi karena bernilai
sejarah dan arsitektur.
Upaya
ini sempat terhenti selama lebih dari 20 tahun, dan dinilai perlu untuk
menetapkan pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan
Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang setahun
kemudian direalisasikan oleh Pemda DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur
No.Cb. 475 Tahun 1993 yang isinya menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan
Monumen di DKI Jakarta dilindungi sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh
pemerintah.
Benda
Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut adalah benda
buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya, yang berusia sekurang-kurangnya
50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya
sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Semua benda cagar budaya, yang
terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia, dikuasai oleh negara.
Asep
Kambali, pemerhati Kota Tua Jakarta mengatakan bahwa di Jakarta terdapat lebih
dari 216 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi berdasarkan SK Gub. No.
475/1993 yang diantaranya itu hampir 75% kondisinya sangat mengkhawatirkan. Hal
ini menjadi bukti bahwa warga Jakarta belum memiliki perhatian dan kepedulian
terhadap potensi kotanya sendiri. Ini juga disinyalir sebagai rendahnya
kesadaran sejarah dan budaya warga kota metropolitan tersebut.
4.
Potensi
yang terabaikan
Kini,
kawasan Kota Tua Jakarta sedang dibenahi Pemda DKI Jakarta dalam suatu proyek
revitalisasi. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, sangat disayangkan proyek
tersebut baru serius dikerjakan ketika terdapat beberapa bangunan-banguan (tua)
cagar budaya telah hancur dan kondisinya sangat memprihatinkan. Jembatan Kota
Intan yang dibangun 1628 misalnya, kini diambang roboh karena kondisinya telah
rapuh. Ditambah lagi beberapa bangunan lain seperti seperti Museum Bahari yang
atapnya roboh pertengahan tahun 2006 lalu; Gedung Cipta Niaga yang dibangun
sekitar 1910-an, kini kondisi atapnya telah roboh; gedung Kota Bawah yang
semakin hari semakin merana, dan sebagainya yang itu semua teramati secara
jelas oleh Peneliti ketika melakukan observasi ke daerah Kota Tua Jakarta.
Gedung-gedung
tersebut merupakan saksi sejarah yang seharusnya dipelihara, dilestarikan dan
dimanfaatkan sebagi potensi pariwisata yang bermanfaat ekonomis dan sosial.
Namun, sejak pemerintah memfokuskan pembanguan ke kawasan “segitiga emas” Jl.
Sudirman, Jl. MH. Thamrin dan Jl. HR. Rasuna Said, kawasan Kota Tua sepertinya
dilupakan oleh pemerintah lebih dari 30 tahun sejak Bang Ali menetapkan Kota
Tua Jakarta sebagai kawasan cagar budaya yang dilindungi.
Salah
satu proyek revitalisasi yang gencar dilakukan dan kini tersendat adalah Proyek Tunel(Tempat
Penyeberangan Orang Bawah Tanah –TPO BT) yang menghubungkan Museum Bank Mandiri
dengan Stasiun BeOS –Jakarta Kota. Proyek itu sangat kontroversial karena
kabarnya tidak melibatkan sejarawan dan arkeolog dalam pelaksanaanya. Kabarnya
proyek ini melanggar SK Gub. No.475/1993, dan berdasarkan SK tersebut, proyek
ini layak jika disebut sebagai Archeological Crime. Hal ini
disebabkan proyek tidak dihentikan ketika banyak ditemukannya artefak-artefak
dari dalam tanah pada proyek tersebut.
Proyek
yang lain adalah Pembangunan Predestrian (trotoar) Jalan Pintu Besar
Utara sepanjang 300 meter. Proyek ini walaupun telah selesai, kabarnya juga
kontroversial. Konsep yang di kerjakan oleh arsitek kenamaan Budi Liem, juga
mengundang kritik banyak pihak seperti ahli tata ruang kota, Marco
Kusumawidjaja.
Kedua
proyek di atas, sebenarnya adalah untuk mendukung Revitalisasi Kota Tua yang
sudah hampir 30 tahun tersendat. Namun, perlu digarisbawahi, hal yang paling
penting adalah bahwa ini tak terlepas dari upaya bagaimana sesungguhnya
menumbuhkan penghargaan, kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kawasan
Kota Tua Jakarta.
Pemerintah
jujur mengakui, bahwa generasi muda kita saat ini kurang begitu suka berkunjung
ke museum atau pun ke Kota Tua Jakarta. Hal ini disebabkan karena kurangnya
kesadaran sejarah dan budaya masyarakat Jakarta terhadap kotanya. Belajar
sejarah merupakan sesuatu yang membosankan, apa lagi berkunjung ke museum
yang sama sekali belum menjadi habbit (kebiasaan). Betapa tidak,
pilihan diluar museum lebih manjanjikan dan menyenangkan, seperti mall,
toserba, bioskop 21, atau tempat-tempat hiburan lain ketimbang museum dan Kota
Tua. Selain akses lalulintas yang saban hari macet, keamanan dan kenyamanan
pengunjung menjadi taruhan. Upaya ini memang harus menyeluruh dan sinergi berbagai
pihak sangat diperlukan.
5.
Yang
Masih Tersisa
Bagi
warga ibukota, Kota Tua Jakarta merupakan tempat yang ‘asing,’ menyulitkan dan
sekaligus menakutkan. Kehidupan malam atau siang di kawasan ini dikenal sangat crowded.
Bagi yang baru pertama kali ke daerah Kota, disarankan untuk tidak pergi
sendirian, apalagi jika seorang perempuan. Tetapi sangat berbeda bagi Komunitas
Historia dan para penggemarnya, malam atau siang tetap saja menyenangkan,
karena di kawasan ini terdapat banyak sekali bangunan tua dari jaman Belanda
yang menjadi tempat belajar sejarah dan jalan-jalan santai yang menantang dan
menyenangkan. Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan (tua)
cagar budaya seperti gedung Stasiun BeOS yang dibangun pada 1925; gedong Factorij
Nederlandshe Handel Matshappij (NHM) yang dibangun tahun 1929 –kini Museum
Bank Mandiri; gedung Stadhuis VOC (1707) –kini Museum Sejarah
Jakarta; Pelabuhan Sunda Kalapa (1527); Jembatan Kota Intan (1628); deJavasche
Bank (1828) –kini Museum Bank Indonesia; Toko Merah (1730); kawasan glodok
sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia (1740); daerah Pekojan sebagai
kampungnya orang Arab di Batavia; Gereja Sion (1695) yang dahulu dikenal
sebagai De Nieuwe Portugeesche Buiten Kerk; area bekas Gudang VOC Sisi
Barat (Westijzsche Pakhuiszen) yang dibangun 1652 –kini Museum Bahari,
dan bangunan bekas Gudang Kayu di belakang Museum Bahari sebagai penunjang
galangan kapal di Batavia, serta beberapa bangunan lain yang kondisinya sangat
megah dan indah, tetapi mengkhawatirkan.
Foto
panorama Museum Sejarah Jakarta, tahun 2015
Sumber
: Wkipedia
Kritik Deskriptif Terhadap Heritage Building (Bangunan Warisan)
1.
Penjelasan
Kritik Arsitektur :
·
Kritik :
adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki
pekerjaan.
·
Arsitektur :
adalah seni yang dilakukan oleh setiap individual untuk berimajinasikan diri
mereka dan ilmu dalam merancang bangunan.
Arsitektur
bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya neoklasik dengan tiga lantai dengan cat
kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian
atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
Museum
ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan
konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
·
Konservasi
(conservation) : bangunan warisan merupakan istilah umum merujuk kepada
akitiviti pemuliharaan ke atas bangunan, monumen dan tapak yang merangkumi
beberapa aktiviti lain seperti proses pemeliharaan (preservation), pemugaran (restoration),
pembaikpulihan (repair and rehabilitation), pembinaan semula (reconstruction)
dan penyesuaian guna (adaptively reuse) atau mana-mana gabungan antaranya. Ia
juga disebut “pemuliharaan” yang menggabungkan tindakan pemulihan dan
pemeliharaan.
2.
Penjelasan
Metode Deskriptif :
·
Penelitian
deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya
untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau
dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau
kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan
dengan masalah dan unit yang diteliti antara fenomena yang diuji.
·
Kritik
Deskriptif ciri-ciri kritik deskriptif, tidak menilai,tidak menafsirkan namun
yang terpenting menggambarkan sesuatu yang ada, tanpa ada tambahan-tambahan
yang mengaburkan.
Ruang
Pengadilan Museum Fatahillah
Sumber
: Google Image
3.
Kritik
Terhadap Bangunan Museum Fatahillah :
Kritik
saya terhadap bangunan Museum Fatahillah, Jakarta :
ü
Arsitektur
bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya neoklasik dengan tiga lantai dengan
cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua.
Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
ü
Museum
ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan
konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
ü
Melihat
dari bangunan Museum Fatahillah, Jakarta masih sangat kental dengan
penginggalan kebudayaan masa kolonial Belanda yang pernah menjajah Bangsa
Indonesia.
ü
Dimana
zaman dahulu Bangsa Kolonial Belanda mendirikan benteng-benteng pertahanan dan
Pemerintahannya di Indonesia untuk menguasai negeri ini.
ü
Maka
tidak heran apabila di Indonesia banyak sekali bangunan kuno atau bangunan
warisan bekas peninggalan zaman dahulu yang kental dengan campuran budaya asing
seperti Museum Fatahillah yang Arsitektur-nya masih bertahan dengan gaya
Arsitektur Kolonial Belanda.
ü
Nah
Sekarang Jika dilihat dari Sejarah Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia
mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia,
yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang
terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27
(kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia.
Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
ü
Pada
masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan
LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum
Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada
saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah
Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
ü
Untuk
meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999
bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat, memamerkan
benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat
bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa
bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta
dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta
berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota
Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih
rekreatif.
ü
Jadi,
dengan ini saya menarik kesimpulan mengenai Kritik Arsitektur merupakan
kegiatan dari ilmu menganalisa suatu bangunan yang disertai pemahaman dasar
suatu bangunan berdasarkan fakta dan teori yang sudah ditetapkan. Sehingga
aplikasi dalam kritik arsitektur ini memiliki landasan yang kuat dalam kritik
Arsitektur.
DAFTAR
PUSTAKA





