Jumat, 06 November 2015

TULISAN ILMIAH

POLA RUANG PEMUKIMAN KUMUH PADA KOTA DEPOK

BAB.I
PENDAHULUAN

I.1           LATAR BELAKANG
                Bagi kota-kota besar di Indonesia, persoalan kemiskinan merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya. Karena itulah saya tertarik untuk membahas tentangpemukiman kumuh dan upaya untuk mengatasinya di perkotaan.

I.2           RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah pengertian dan karakteristik permukiman kumuh?
2. Bagaimanakah sebab dan proses terbentuknya permukiman kumuh?
3. Apa masalah-masalah yang timbul akibat permukiman kumuh?
4. Bagaimana upaya untuk mengatasi permukiman kumuh?

I.3           TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dan karakteristik permukiman kumuh.
2. Untuk mengetahui sebab dan proses terbentuknya permukiman kumuh.
3. Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul akibat permukiman kumuh.
4. Untuk mengetahui upaya untuk mengatasi.

BAB.II
PEMBAHASAN

II.1      PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK PERMUKIMAN KUMUH
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan kata “kumuh” menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai kotor atau cemar. Jadi, bukan padat, rapat becek, bau, reyot, atau tidak teraturnya, tetapi justru kotornya yang menjadikan sesuatu dapat dikatakan kumuh. Menurut Johan Silas Permukiman Kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh. Yang menjadi penyebabnya adalah mobilitas sosial ekonomi yang stagnan. Karakteristik Permukiman Kumuh : (Menurut Johan Silas)
1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m2/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana, termasuk masyarakat “residu” seperti residivis, WTS dan lain-lain.
 Kriteria Umum Permukiman Kumuh:
·         Mandiri dan produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat yang perlu dibenahi.
·         Keadaan fisik hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun terbatas, namun masih dapat ditingkatkan.
·         Para penghuni lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata pencaharian tidak tetap dalam usaha non formal dengan tingkat pendidikan rendah
·         Pada umumnya penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang paling bawah, meskipun tidak miskin serta tidak menunggu bantuan pemerintah, kecuali dibuka peluang untuk mendorong mobilitas tersebut.
·         Ada kemungkinan dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan program pembangunan kota pada umumnya.
·         Kehadirannya perlu dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang satu, tetapi tidak semua begitu saja dapat dianggap permanen.
 Kriteria Khusus Permukiman Kumuh:
·         Berada di lokasi tidak legal
·         Dengan keadaan fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat rendah (miskin)
·         Tidak dapat dilayani berbagai fasilitas kota
·         Tdak diingini kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
·         Permukiman kumuh selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal), ada sistem angkutan yang memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum walau tidak selalu murah.
II.2      SEBAB DAN PROSES TERBENTUKNYA PERMUKIMAN KUMUH
a.       Sebab Terbentuknya Permukiman Kumuh 
Dalam perkembangan suatu kota, sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya. Masyarakat yang mampu, cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota, khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota. Kelompok masyarakat inilah yang karena tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh kantong mereka serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha, menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan.
Latar belakang lain yang erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.
b.      Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh 
Dimulai dengan dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan maupun dibangunkan oleh orang lain. Pada proses pembangunan oleh sektor non-formal tersebut mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan kesehatan.

II.3      MASALAH-MASALAH YANG TIMBUL AKIBAT PERMUKIMAN KUMUH
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dari segi pemerintahan, pemerintah dianggap dan dipandang tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat. Sementara pada dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi, mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Sri Soewasti Susanto, 1974)
 Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah:
·         ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni
·         rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran
·         sarana jalan yang sempit dan tidak memadai
·         tidak tersedianya jaringan drainase
·         kurangnya suplai air bersih
·         jaringan listrik yang semrawut
·         fasilitas MCK yang tidak memadai
II.4      UPAYA MENGATASI PERMUKIMAN KUMUH
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya.
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
·         Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
·         Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
Bentuk Bentuk Peremajaan Kota Di Indonesia:
1.      Perbaikan lingkungan permukiman.
Disini kekuatan pemerintah/public investment sangat dominan, atau sebagai faktor tunggal pembangunan kota.
2.      Pembangunan rumah susun sebagai pemecahan lingkungan kumuh.
Peremajaan yang bersifat progresif oleh kekuatan sektor swasta seperti munculnya super blok (merupakan fenomena yang menimbulkan banyak kritik dalam aspek sosial yaitu penggusuran, kurang adanya integrasi jaringan dan aktifitas trafik yang sering menciptakan problem diluar super blok). Faktor tunggalnya adalah pihak swasta besar.
Pemerintah juga telah membentuk institusi yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional, serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi bidang-bidang tertentu.
Yang di usahakan adalah: perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi, pembangunan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional dan sumber daya alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan administrasi negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan, pusat data dan informasi perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan perencanaan pembangunan (pusbindiklatren), program pembangunan nasional(propenas), badan koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional, hubungan eksternal.


BAB.III
ANALISIS

Warga kumuh kerap digusur, tanpa adanya solusi bagi mereka selanjutnya. Seharusnya, pemerintah bisa mengakomodasi hal ini dengan melakukan relokasi ke kawasan khusus. Dengan penyediaan lahan khusus tersebut, pemerintah bisa membangun suatu kawasan tempat tinggal terpadu berbentuk vertikal (rumah susun) yang ramah lingkungan untuk disewakan kepada mereka. Namun, pembangunan rusun tersebut juga harus dilengkapi sarana pendukung lainnya, seperti sekolah, tempat ibadah, dan pasar yang bisa diakses hanya dengan berjalan kaki, tanpa harus menggunakan kendaraan. 
Bangunan harus berbentuk vertikal (rusun) agar tidak menghabiskan banyak lahan. Sisanya, harus disediakan pula lahan untuk ruang terbuka hijau, sehingga masyarakat tetap menikmati lingkungan yang sehat. Dalam hal ini masyarakat harus turut serta untuk menanam dan memelihara lingkungan hijau tersebut.
Pemerintah dapat menerapkan program rekayasa sosial, di mana tidak hanya menyediakan pembangunan secara fisik, tetapi juga penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga mereka dapat belajar survive. Perlu dukungan penciptaan pekerjaan yang bisa membantu mereka survive, misalnya dengan pemberdayaan lingkungan setempat yang membantu mereka untuk mendapatkan penghasilan, sehingga mereka memiliki uang untuk kebutuhan hidup.
Masyarakat harus ikut dilibatkan dalam mengatasi permukiman kumuh di perkotaan. Karena orang yang tinggal di kawasan kumuhlah yang tahu benar apa yang menjadi masalah, termasuk solusinya. Jika masyarakat dilibatkan, persoalan mengenai permukiman kumuh bisa segera diselesaikan. Melalui kontribusi masukan dari masyarakat maka akan diketahui secara persis instrumen dan kebijakan yang paling tepat dan dibutuhkan dalam mengatasi permukiman kumuh.
Dalam mengatasi permukiman kumuh tetap harus ada intervensi dari negara, terutama untuk menilai program yang disampaikan masyarakat sudah sesuai sasaran atau harus ada perbaikan. Kerja sama Pemerintah dan Swara (KPS) dalam membenahi kawasan kumuh, terutama dalam hal penyediaan infrastruktur pendukung dibutuhkan.
Permukiman kumuh tidak dapat diatasi dengan pembangunan fisik semata-mata tetapi yang lebih penting mengubah prilaku dan budaya dari masyarakat di kawasan kumuh. Jadi masyarakat juga harus menjaga lingkungannya agar tetap bersih, rapi, tertur dan indah. Sehingga akan tercipta lingkungan yang nyaman, tertip, dan asri.

BAB.IV
PENUTUP

I.1       KESIMPULAN
Tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah: ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni, rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran, sarana jalan yang sempit dan tidak memadai,tidak tersedianya jaringan drainase, kurangnya suplai air bersih, jaringan listrik yang semrawut, dan fasilitas MCK yang tidak memadai.
 Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
I.2       SARAN
 Pemerintah selain memberikan rumah susun juga harus memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum punya pekerjaan. Dan masyarakat harus selalu menjaga lingkungannya agar tetap indah, bersih, dan teratur.

DAFTAR PUSTAKA

http://pou-pout.blogspot.co.id/2010/03/makalah-permukiman-kumuh-dan-upaya.html
Ami-archuek. 2009. Permukiman Kota. (Online), (http://ami- archuek06.blogspot.com, Diakses 23 Desember 2009).
Chyntiawati, deby. 2009. Masalah Sosial Permukiman Kumuh. (Online),(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pemukiman-kumuh/, Diakses 23 Desember 2009).
Qurow-yun. 2009. Fenomena Masyarakat Miskin Perkotaan. (Online), (http://qurow-yun.blogspot.com/2009/05/fenomena-masyarakat-miskin- perkotaan.html, Diakses 23 Desember 2009).
Rukmana, Deden.2008. Kemiskinan dan Permukiman Kumuh di Perkotaan. (Online), (http://dedenrukmana.wordpress.com/, Diakses 23 Desember 2009).
Tribun-Timur. 8 oktober 2009. Kawasan Kumuh Perkotaan. (Online), (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51720, Diakses 23 desember 2009).





Kamis, 05 November 2015

Artikel Bebas Tentang Sirkulasi Untuk Pejalan Kaki

ARTIKEL BEBAS

SIRKULASI TROTOAR YANG TIDAK RAMAH UNTUK PEJALAN KAKI DI KOTA DEPOK

Jalan Margonda Raya merupakan ruas jalan yang merupakan jantung utama Kota Depok. Jalan Margonda berada di tengah Kota Depok dan menjadi akses penghubung utama dengan wilayah Jakarta Selatan yakni Jalan Lenteng Agung dan wilayah Jakarta Timur melalui Jalan Akses UI, Kelapa Dua. 

Di sisi jalan protokol sepanjang 5,3 km tersebut, saat ini telah menjadi pusat bisnis dengan berdiri sejumlah mal, hotel, restoran, cafe dan berbagai usaha mulai dari furniture, otomotif serta usaha retail lainnya bahkan lembaga pendidikan. Di jalan ini pulalah pusat Pemerintahan Kota Depok berdiri. Walaupun menjadi pusat bisnis dan pemerintahan sekaligus jantung utama Kota Depok, Jalan Margonda ternyata tidak ramah bagi pejalan kaki. 

Bahkan Jalan Margonda saat ini sangat mudah tergenang air jika hujan turun. Padahal pembangunan trotoar atau pedestrian sekaligus drainasenya di sepanjang Jalan Margonda mulai dibangun sejak tahun 2013 lalu. Andri (22) mahasiswa Universitas Indonesia (UI), mengeluhkan tidak nyamannya pedestrian di Jalan Margonda Raya, bagi pejalan kaki dan penyeberag jalan. 
Selain pedesterian yang kecil yakni hanya satu setengah meter dan terlalu mepet dengan bangunan, keberadaan pedestrian juga belum menyeluruh dan baru ada sebagian saja. 

"Iya bagaimana lagi, trotoar yang ada sempit dan hanya ada di beberapa titik saja. Jembatan penyeberangan orang juga belum selesai. Kami terpaksa menyebrang jalan dengan menghadang mobil. Lalau kalau jalan di sisi Jalan Margonda, agak masuk ke ruas jalan," katanya. 
Karenanya kata Andri, ia mengaku takut ditabrak kendaraan jika berjalan kaki di sisi Jalan Margonda. 

"Enggak nyaman dan kadang takut ketabrak kendaraan. Di beberapa tempat, trotoar yang ada juga malah dipakai pedagang kaki lima. Padahal kami yang gak punya kendaraan kalau mau ke beberapa tempat di Margonda ya jalan kaki," ujar Andri Minggu (25/5/2014). 
Sementara itu, Rizka Rahman Sidik, pemilik usaha rumah makan di Jalan Margonda, mengatakan selain pedestrian yang kurang lebar, Jalan Margonda saat ini juga kerap tergenang air karena tidak beresnya penataan drainase yang dilakukan Pemkot 
Depok.
"Saya selalu was-was kalau hujan. Soalnya di depan warung makan saya sering tergenang. Kalau sudah tergenang, otomatis sepi," katanya. 

Ia menjelaskan sudah beberapa kali memperdalam dan mengeruk drainase yang ada di depan kiosnya dengan biaya sendiri, namun genangan air atau banjir tetap terjadi jika hujan turun. 
"Sudah dikeruk lebih dari sekali. Dan itu pakai uang pribadi. Tapi tetap saja air menggenang," katanya, Minggu (25/5/2014). 

Seperti diketahui pada akhir tahun 2013, proyek penataan Jalan Raya Margonda terhenti karena keterlambatan tender. Karenanya pembangunan pedestrian tidak merata dan JPO belum rampung. Padahal proyek sudah memakan anggaran Rp 28 Miliar. 

Pengerjaan baru dilakukan pada pelebaran sebagian drainase, pelebaran beberapa sisi separator, dan pembuatan trotoar selebar 2 meter dan baru selesai sekitar 40 persen saja. Kepala Bidang Pengendalian dan Operasional Dinas Perhubungan Kota
Depok, Yusmanto, mengakui belum nyamannya pedestrian di Jalan Margonda Raya bagi pejalan kaki. 

"Trotoar belum merata ada di sepanjang jalan. Tapi masih putus-putus. Akhir tahun ini rencananya akan dimulai lagi proyek pembangunannya dengan menunggu hasil tender," katanya. (Budi Sam Law Malau)

DAFTAR PUSTAKA


Artikel Bebas Tentang Keluhan Terhadap perda Kota Depok

ARTIKEL BEBAS

PENGEMBANG KOTA DEPOK KELUHKAN RTRW PERDA KOTA DEPOK

DPRD Depok telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam Perda tersebut diatur bahwa pengembang hanya boleh membangun, menjual dan memasarkan perumahan dengan luas tanah 120 meter persegi. 

Sayangnya, keberadaan Perda tersebut belum tersosialisasikan dengan baik dan sudah diberlakukan saat pengurusan izin di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kota Depok. Kebijakan itu dikeluhkan pengusaha properti.

“Kita sangat menyayangkan dengan kebijakan ini yang tidak tersosialisasikan dengan baik. Infonya kan masih di Jawa Barat, tapi kok di BPMP2T sudah diberlakukan. Sampai saat ini saja, kita juga belum tahu bagaimana bentuk dan isi perda itu,” terang Direktur Perumahan PT Bangun Karya Digdaya Nasihun Sayhroni, Rabu (10/09/2014). 

Menurutnya, dalam menentukan Perda harus berdasarkan dengan undang-undang (UU). Sementara, UU yang mengatur kapling (luas tanah 120 meter) sudah dihapus saat pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, Pemerintah Kota Depok tetap menjalankan aturan itu. Ia menilai, masyarakat Depok akan kesulitan dalam membeli rumah karena harga yang mahal. 

Dengan kata lain, imbuhnya, masyarakat menengah ke bawah tidak akan menjangkau harga rumah yang sesuai dengan ketentuan dari Pemerintah Kota Depok.
“Kebijakan ini hanya menutup kesempatan masyarakat menengah ke bawah untuk memiliki rumah. Karena, dari sisi harga sudah mahal,” paparnya. 

Hal serupa diutarakan Komisaris PT Griya Bukit Mas Pitara Abdul Khair. Ia mengaku, bagi pengembang lebih sulit menjual rumah yang menengah ke atas (di atas Rp 500 juta). Dirinya memprediksi, orang akan lebih memilih menjual kapling atau tanah daripada rumah. Pasalnya, dalam pengurusan tanah atau IMB bakal terkendala dan mahal. 

“Tentunya, imbas dari diberlakunya aturan ini cukup luas. Logikanya, tanah dengan ukuran 120 meter yang dikenakan kepada developer, mereka akan menjual atas nama pribadi. Ibaratnya, ya sudah jual kapling (tanah) satu-satu dengan luas 100 meter. Meskipun, masih bisa terjegal saat pengurusan site plan karena badan pertanahan nasional (BPN) masih mensyaratkannya,” tuturnya. 

Dia menambahkan, Perda RTRW sebagai kebijakan yang tak masuk akal. Pasalnya, bila semangat untuk memiliki rumah maka dipastikan masyarakat golongan bawah tidak akan menjadi target. 

"Dengan kata lain, hanya golongan menengah ke atas saja yang mampu membeli rumah yang dengan luas 120 meter," tutupnya.

DAFTAR PUSTAKA


Artikel Bebas Tentang Perumahan Kota Depok

ARTIKEL BEBAS

PENOLAKAN PERDA KOTA DEPOK TENTANG PERUMAHAN

DPRD Kota Depok telah mengesahkan peraturan daerah (perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terkait peraturan soal perumahan dan zona wilayah di Depok. Namun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menolak draft perda tersebut dan mengembalikannya ke Pemerintah Kota Depok. 

Ketua DPRD Kota Depok Rinstis Yanto mengatakan, pihaknya telah mengajukan Raperda RTRW ke Provinsi Jawa Barat pada akhir Desember 2012. Tapi pada pekan lalu provinsi telah mengembalikan lagi ke Pemkot Depok karena ada beberapa hal yang belum sesuai. 
Saat ini, kata dia, RTRW itu sedang disesuaikan lagi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok melalui Dinas Tata Ruang dan Pemukiman. "Setelah dibahas di provinsi dikembalikan lagi ke kita dan sekarang sedang dibahas di (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Bappeda," katanya, Kamis (14/2/2013). 

Rintis mengatakan, keterlambatan Raperda RTRW itu bukan saja kesalahan pemerintah Depok, tapi juga provinsi Jawa Barat. Pasalnya, pemerintah provinsi seharusnya hanya memeriksa Raperda itu selama 14 hari, tapi mereka memeriksanya lebih dari satu bulan. Hal itu membuat pemerintah Depok keteteran menyesuaikan RTRW. "Provinsi juga yang terlambat. Kenapa Februari ini dievaluasinya? Padahal dalam aturannya hanya dua pekan," ujarnya. 

Dalam Raperda RTRW tersebut, ada beberapa hal yang harus diubah, di antaranya masalah kavling luas rumah yang saat ini banyak disoroti publik minimal 120 meter persegi dan ketersedian Ruang Terbuka Hijau (RTH). Rintis juga mengatakan keterlambatan Raperda RTRW Depok dikarenakan pembahasan di tingkat pemerintah yang alot.
Sejak dimulainya pembahasan RTRW pada 2010 lalu, pemerintah Depok baru menyerahkan rancangannya ke DPRD pada akhir Oktober 2012. "Kalau kita kan hanya membahas dua bulan dan langsung paripurna," katanya.

Selain itu, keterlambatan juga dikarenakan adanya pergantian Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membahas rancangan RTRW. Awalnya rancangan ditangani Bappeda kota Depok, tapi pada awal 2012 perancangan dialihkan ke Dinas Tata Ruang dan Pemukiman. "Ini yang kacau, itulah yang memperlambat," ungkapnya. Saat ini DPRD masih menunggu pengajuan hasil pembahasan dari Pemerintah. 

Sementara, Kepala Bappeda Kota Depok, Misbahul Munir membenarkan saat ini pihaknya sedang melakukan evaluasi terhadap Raperda RTRW itu. Namun, dia mengaku belum bisa menjelaskan karena masih dibahas di dinas tata ruang dan pemukiman kota Depok. "Iya benar (dikembalikan oleh provinsi), tapi masalah itu dikomunikasikan dengan Distarkim," imbuhnya.

Sebelumnya para pengembang di Depok beramai-ramai menolak raperda tersebut. Sebab hal itu memberatkan mereka karena dilarang membangun rumah sederhana dengan tipe standar 36 meter persegi (m2) dengan luas tanah 72 m2, melainkan minimal harus 120 m2.

DAFTAR PUSTAKA


Artikel Bebas : Pemukiman Kota Depok

ARTIKEL BEBAS

KOTA DEPOK SEBAGAI KOTA PEMUKIMAN

Pemerintah Kota Depok menghentikan pengeluaran izin pembangunan pabrik atau industri baru karena akan fokus menjadi kota permukiman. Kepala Dinas Tata Kota dan Pemukiman (Tarkim) Nunu Heriana, mengatakan Pemerintah Kota Depok dan DPRD tengah menggodok Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
"Dalam rancangan Raperda itu ditentukan bahwa Depok akan fokus pada kota permukiman," katanya kepada wartawan, Kamis, 18 Oktober 2012.

Dengan demikian, kata Nunu, Pemerintah Kota Depok tidak akan lagi mengeluarkan izin bagi industri lainnya yang hendak mendirikan pabrik. Namun, untuk industri yang sudah berdiri masih diperkenankan untuk beroperasi. Industri itu berada di wilayah Cimanggis dan Tapos. 

"Industri di Depok kan sudah ada sejak zaman Belanda, jadi dipertahankan. Tapi kalau mau berubah fungsi ke yang lain ya silakan," kata dia.

Menurut Nunu, Depok akan dijadikan sebagai kota hunian dengan pertumbuhan penduduk empat persen per tahun. Dengan pertambahan penduduk yang terlalu cepat itu, Depok akan terlalu padat. Tercatat pada 1999 Depok masih dihuni 900 ribu penduduk. "Sekarang sudah 1,8 juta, itu cepat sekali," kata dia.

Menurut Nunu, wilayah di Kota Depok akan dibagi menjadi lima zonasi: permukiman, industri, perdagangan dan jasa, pertanian, serta lahan berkelanjutan. Zonasi ini juga akan diatur di Perda RTRW itu. "Sehingga perkembangan kawasan di Depok mengikuti zonasi itu,” katanya.
Selain itu, pemberian izin pembangunan wilayah juga akan dikeluarkan berdasarkan zonasi itu. Misalnya saja Beji dan Pancoran Mas, daerah itu akan jadi wilayah permukiman dan perdagangan. Sementara Cimanggis, Tapos, Cipayung, Cinere, Sawangan, dan Bojongsari akan menjadi wilayah perdagangan, pergudangan, jasa, pariwisata, pertanian, dan potensi ekonomi.
Ketua DPRD Kota Depok, Rintis Yanto, mengatakan rancangan Perda RTRW itu saat ini sedang dikaji. Diharapkan draft RTRW selesai pada November 2012. "Mudahan November bisa selesai," katanya.

DAFTAR PUSTAKA


ARTIKEL BEBAS Tentang Perjanjian Surat Kontrak 2

artikel bebas

CONTOH SURAT KONTRAK PERJANJIAN PEMBANGUNAN 2

SURAT KONTRAK PERJANJIAN PEKERJAAN BORONGAN
Pada hari ini hari kamis tanggal 21 bulan juni tahun 2012, kami yang bertanda tangan dibawah ini masing-masing :
1.      Nama : Mujiono
Alamat : Jl. Contoh Surat Resmi No. 99, Cibinong Bogor
Jabatan : Supervisor
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemilik Proyek (Owner), selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

2.      Nama : Sulamun
Alamat : Jl. Contoh Surat Perjanjian No. 214, Cibinong Bogor
Jabatan : Direktur
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT Sukasenang Jaya, untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

Kedua belah pihak telah sepakat untuk melaksanakan perjanjian pemborongan pekerjaan pembangunan rumah, dengan ketentuan sebagai berikut :

PASAL- 1
TUGAS PEKERJAAN
PIHAK PERTAMA memberi tugas kepada PIHAK KEDUA, PIHAK KEDUA menerima dengan baik tugas pekerjaan tersebut, serta mengikat diri sebagai Pemborong pada Proyek Pembangunan Rumah

PASAL – 2
DASAR PELAKSANAAN PEKERJAAN
Pekerjaan tersebut dalam pasal 1, surat Perjanjian ini harus dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA atas dasar referensi sebagaimana tersebut dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari surat perjanjian ini yang terdiri dari :
1. Gambar Prarencana termasuk gambar-gambar detail (sesuai tercantum di RAB).
2. Spesifikasi bahan yang dipakai (sesuai tercantum di RAB).
3. Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang disetujui oleh PIHAK PERTAMA
PASAL – 3
D I R E K S I
1.Pembinaan terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut dalam Surat Perjanjian ini dilakukan oleh PIHAK PERTAMA.
2.Segala komunikasi permintaan dan perintah atas nama PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA harus disampaikan secara tertulis.

PASAL – 4
BAHAN-BAHAN DAN PERALATAN KERJA
1. Bahan-bahan, peralatan kerja dan segala sesuatunya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut disediakan oleh PIHAK KEDUA.
2. PIHAK PERTAMA berhak menolak bahan-bahan dan peralatan kerja yang disediakan oleh PIHAK KEDUA, jika kualitasnya tidak memenuhi persyaratan.

PASAL – 5
TENAGA KERJA DAN UPAH
1. Agar pekerjaan pemborongan dapat berjalan seperti yang direncanakan, PIHAK KEDUA wajib untuk menyediakan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup dan mempunyai keahlian serta keterampilan yang baik.
2. Semua upah tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan tersebut ditanggung oleh sepenuhnya oleh PIHAK KEDUA.

PASAL – 6
PELAKSANA PIHAK KEDUA
PIHAK KEDUA menunjuk seorang tenaga ahli sebagai Pimpinan Pelaksana pekerjaan pemborongan yang mempunyai wewenang penuh/kuasa penuh, untuk mewakili PIHAK KEDUA.

PASAL – 7
JANGKA WAKTU PENYELESAIAN
PIHAK KEDUA harus menyelesaikan pekerjaan seperti terlampir dalam uraian pekerjaan selama 60 (enam puluh) hari kerja, dan tidak dapat dirubah oleh PIHAK KEDUA, kecuali karena keadaan Force majeure, seperti yang dijelaskan dalam pasal 11 dalam surat perjanjian ini dan atau karena pekerjaan tambah / kurang sesuai dalam pasal 14 surat perjanjian ini, yang dinyatakan secara tertulis dalam berita acara.


PASAL – 8
MASA PEMELIHARAAN
1. Masa pemeliharaan ditetapkan selama 60 (enam puluh) hari kalender setelah pekerjaan selesai. Untuk semua Pekerjaan tersebut terhitung mulai tanggal pekerjaan selesai 100 % (serah terima pekerjaan) dan dapat diterima oleh PIHAK PERTAMA dalam keadaan baik yang dibuktikan dalam berita acara.
2. Untuk pekerjaan karena kerusakan yang terjadi dalam pemeliharaan dan bukan disebabkan Force Majeure, maka semua biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh PIHAK KEDUA.

PASAL – 9
HARGA PEKERJAAN PEMBORONGAN DAN CARA PEMBAYARAN
1. Harga borongan untuk pelaksanaan pekerjaan borongan ini adalah sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), harga tersebut tidak termasuk PPN 10 %.
2. Cara pembayaran yang disepakati kedua belah PIHAK adalah berdasarkan prestasi pekerjaan, dibagi dalam 4 (empat) termin, dan PIHAK KEDUA diberikan uang muka Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) sebesar 20% (dua puluh persen) dari harga borongan pekerjaan yaitu sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), yang dibayarkan lunas pada saat penandatanganan kontrak, dan akan diperhitungkan dengan pembayaran termin (sesuai kontrak), sehingga setiap termin akan dipotong sebesar 20% dari nilai 20% uang muka, atau sebesar Rp. Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), dengan perincian sebagai berikut :
Pembayaran retensi sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah), akan dilunasi setelah berakhirnya masa pemeliharaan yang dinyatakan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terakhir, dengan dibukakan Bilyet Giro yang jatuh tempo 60 (enam puluh) hari kalender, setelah Berita Acara Serah Terima Kunci ditanda tangani.
Pekerjaan tambah atau kurang akan diperhitungkan sesuai hasil ofname dengan dikalikan harga satuan pekerjaan seperti tercantum dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB).
3. Prestasi pekerjaan dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
(1) Pekerjaan yang sudah terpasang di-ofname 100 %.
(2) Pekerjaan yang materialnya sudah ada dilapangan di-ofname 50 %
(3) Pekerjaan yang materialnya sudah dibeli akan tetapi belum ada dilapangan maupun terpasang di-ofname 30 %.
(4) Setiap Pembayaran termin atau angsuran akan dibayar oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah kuitansi tagihan diajukan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA atau wakilnya.

PASAL – 10
KENAIKAN HARGA
1. Kenaikan harga bahan-bahan, alat-alat dan upah selama pelaksanaan pekerjaan pemborongan ini, ditanggung sepenuhnya oleh PIHAK KEDUA, kecuali disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah dalam bidang moneter yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan naiknya harga bahan secara tidak wajar.
2. Dalam hal terjadinya kenaikan harga seperti yang tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka dari sisa pekerjaan yang belum dikerjakan akan diperhitungkan kemudian secara musyawarah mufakat antara kedua belah pihak.

PASAL – 11
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
1. PIHAK KEDUA dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian atau keterlambatan pekerjaan yang telah ditetapkan, apabila terjadi keadaan memaksa (force majeure).
2. Keadaan memaksa (force majeure) yang dimaksud ayat 1 pasal ini adalah :
Bencana alam seperti : Gempa Bumi, Angin Topan, Tanah Longsor, Banjir, Kerusuhan, Teror, Perang yang dapat mengakibatkan kerusakan dan terlambatnya pelaksanaan Pekerjaan.
Adanya pemogokan buruh yang bukan disebabkan oleh kesalahan pemborong.
3. Bila terjadi force majeure PIHAK KEDUA harus secepatnya memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA selambat-lambatnya 7 x 24 jam setelah kejadian .
4. Dalam hal ada pemberitahuan force majeure, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 x 24 jam PIHAK PERTAMA harus memberikan jawabannya.
5.Apabila PIHAK PERTAMA selama waktu yang ditentukan dalam pasal 6 ayat 4 diatas belum memberikan jawaban berarti force majeure dapat diterima.

PASAL – 12
DENDA SANKSI-SANKSI DAN PEMUTUSAN KONTRAK
1. Kecuali karena keadaan force majeure seperti tersebut dalam pasal 11 ayat 1 dan 2, pekerjaan tidak dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya, maka PIHAK KEDUA dikenakan denda.
2. Denda yang diakibatkan keterlambatan seperti tersebut dalam ayat 1 pasal ini, adalah sebesar 1‰ (satu per seribu) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda maksimal 5 % (lima perseratus) dari nilai kontrak.
3. Dalam hal PIHAK PERTAMA terlambat membayarkan angsuran kepada PIHAK KEDUA, seperti yang diatur dalam pasal 9, maka PIHAK PERTAMA dikenakan denda.
4. Denda yang diakibatkan keterlambatan seperti tersebut dalam ayat 3 pasal ini, adalah sama seperti yang tersebut pada ayat 2 pasal ini.
5. Apabila PIHAK KEDUA memutuskan kontrak ini secara sepihak, tanpa adanya alasan- alasan yang diterima oleh PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA dikenakan denda 5 % (lima perseratus) dari harga kontrak. Dan akibat pemutusan ini, PIHAK PERTAMA mempunyai wewenang untuk melanjutkan dengan menunjuk kontraktor lain.
6. Dalam hal PIHAK PERTAMA memutuskan kontrak ini secara sepihak, tanpa alasan-alasan yang dapat diterima oleh PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA dikenakan denda 5 % (lima perseratus) dari harga kontrak dan akibat dari pemutusan ini, PIHAK KEDUA tidak diwajibkan untuk melanjutkan sisa pekerjaan.

PASAL – 13
R E S I K O
Jika hasil pekerjaan PIHAK KEDUA musnah, rusak, tidak memenuhi spesifikasi teknik atau tidak rapih dengan cara apapun sebelum diserahkan kepada PIHAK PERTAMA, kecuali keadaan force majeure, maka pihak kedua bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kerugian yang timbul, kecuali PIHAK PERTAMA telah lalai menerima hasil pekerjaan dari PIHAK KEDUA tersebut.

PASAL – 14
PEKERJAAN TAMBAH, KURANG DAN BERITA ACARA SERAH TERIMA
1. Pekerjaan tambah atau kurang hanya boleh dikerjakan atas perintah secara tertulis dari PIHAK PERTAMA, yang harganya didasarkan atas penawaran dari PIHAK KEDUA, yang dilampirkan dalam surat perjanjian.
2. Jika harga pekerjaan tambah belum tercantum dalam harga penawaran, maka PIHAK KEDUA mengajukan harga pekerjaan tambah tersebut yang telah disetujui PIHAK PERTAMA dan pembayaran akan dibayarkan oleh PIHAK PERTAMA pada saat termin pembayaran berikutnya.
3. Yang dimaksud dengan pekerjaan tambah / kurang, dalam ayat 1 pasal ini, adalah segala perubahan pekerjaan diluar harga penawaran yang dilampirkan dalam Surat Perjanjian.
4. Jika PIHAK PERTAMA berkehendak untuk mengganti salah satu atau beberapa material dari setiap pekerjaan, maka dikenakan charge jasa pemborong yang telah diajukan oleh PIHAK KEDUA yaitu sebesar 10% (sepuluh persen).
5. Biaya pekerjaan tambah akan dituangkan dalam ADDENDUM kontrak sebelum pekerjaan selesai. Biaya pekerjaan kurang akan dituangkan dalam ADDENDUM kontrak dan diperhitungkan pada akhir pekerjaan.
6. Dengan adanya pekerjaan tambah kurang yang mempengaruhi kegiatan kerja dari PIHAK KEDUA, maka waktu pelaksanaan dengan sendirinya akan bertambah dengan sendirinya meskipun PIHAK KEDUA tidak mengajukan permintaan penambahan waktu pelaksanaan.
7. Atas dasar permintaan tertulis dari PIHAK KEDUA, PIHAK PERTAMA mengadakan penelitian apakah pekerjaan telah selesai dan apakah telah sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan dalam Surat Perjanjian ini.
8. Penyerahan pekerjaan yang telah selesai dinyatakan dalam suatu Berita Acara Serah Terima Pekerjaan yang dibuat oleh PIHAK KEDUA dan disahkan oleh PIHAK PERTAMA.

PASAL – 15
PENGAMANAN TEMPAT KERJA DAN TENAGA KERJA
1. PIHAK KEDUA wajib bertanggung jawab atas keamanan tempat dan tenaga kerja selama pekerjaan berlangsung.
2. PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas penyediaan sarana untuk menjaga keselamatan tenaga kerjanya, guna menghindari bahaya yang mungkin terjadi pada saat melaksanakan pekerjaan.
3. Jika terjadi kecelakaan pada saat melaksanakan pekerjaan, maka PIHAK KEDUA diwajibkan memberikan pertolongan kepada korban dan segala biaya yang dikeluarkan menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA

PASAL – 16
PERSELISIHAN
1. Apabila selama pelaksanaan pekerjaan ini terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat antara kedua belah pihak, maka pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antara kedua belah pihak.
2. Perselisihan dibidang teknik akan diselesaikan melalui suatu Panitia Arbitrase, yang akan terdiri dari seorang anggota yang ditunjuk oleh PIHAK PERTAMA, seorang yang ditunjuk oleh PIHAK KEDUA dan seorang yang Netral sebagai ketua merangkap anggota yang disetujui oleh kedua belah pihak.
3. Seandainya masih belum juga tercapai penyelesaian lewat Panitia Arbitrase tersebut, maka akan dilanjutkan melalui prosedur Hukum yang berlaku.
4. Semua biaya penyelesaian perselisihan, menjadi tanggung jawab kedua belah pihak.

PASAL – 17
D O M I S I L I
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk memilih domisili pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

PASAL – 18
P E N U T U P
1. Hal-hal lain yang belum ditetapkan dalam Surat Perjanjian ini, akan ditentukan kemudian atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Demikian Surat Perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup yang mempunyai kekuatan hukum yang sama yang dipegang oleh masing-masing pihak dan berlaku sejak ditanda tangani Surat Perjanjian ini.
3. Kedua belah pihak beritikad baik untuk melaksanakan Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
ini sesuai dengan isinya.

Contoh Surat Kontrak Perjanjian Pembangunan 2
 



KONTRAK



PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
antara
CV. Maju jaya
dengan
…………………………………………………
_________________________________________________________________
Nomor : …………………….
Tanggal : …………………….
Pada hari ini ………, tanggal ……………kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. Maju jaya dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama Pemilik atau Kuasa Pemilik dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang dimiliki oleh Pihak Kedua yang terletak di ……………………………………………………………………………………
Pihak Pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pihak Kedua, dengan ketentuan yang disebutkan dalam pasal pasal sebagai berikut :
Pasal 1
Tujuan Kontrak
Tujuan kontrak ini adalah bahwa Pihak Pertama melaksanakan dan, menyelesaikan pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang berlokasi tersebut diatas.
Pasal 2
Bentuk Pekerjaan
Bentuk pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut :
1. Pekerjaan Perencanaan ( gambar kerja, spesifikasi material dan bahan, serta time schedule proyek ).
Terlampir Timeschedule Perencanaan no. bp/071009/2007, tertanggal 09 oktober 2007
3.      Pekerjaan Bangunan ( pelaksanaan konstruksi bangunan, sesuai dengan spesifikasi material dan bahan yang akan dilampirkan oleh pihak pertama pada saat Pekerjaan Perencanaan selesai, dan telah disetujui oleh pihak kedua )

Pasal 3
Sistem Pekerjaan
Sistem pekerjaan yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebagai berikut :
1. Pihak kedua menggunakan system penunjukan langsung dengan memberikan anggaran biaya ( budget ).
Pihak Kedua memberikan anggaran biaya kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
2. Anggaran Biaya sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ) termasuk rincian :
a. Pekerjaan Perencanaan
b. Pekerjaan Bangunan
Dan tidak termasuk :
a. Pajak – pajak yang di timbulkan atas pelaksanaan pembangunan termasuk : Pajak kontraktor, pajak pribadi, pajak membangun sendiri dan lain-lain.
b. IMB ( Ijin mendirikan bangunan ) mulai dari tingkat klian banjar, lurah / kepala desa, camat dan pihak ciptakarya badung.
3. Pihak pertama berhak menentukan luasan ruang bangunan, spesifikasi bahan dan material bangunan, dan bentuk bangunan yang akan disesuaikan dengan anggaran biaya ( budget ) yang di berikan oleh pihak kedua.

Pasal 4
Biaya
Adapun biaya pembangunan rumah tinggal tersebut adalah Rp. 2.100.000.000( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
Pasal 5

Sistem Pembayaran

Pembayaran atas pekerjaan pembangunan tersebut diatas dilakukan dalam beberapa tahap yaitu :
Tanda Jadi :Tanda jadi sebesar Rp. 10.000.000 ( sepuluh juta rupiah ) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan perencanaan ( Pasal 2 ayat 1 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal……………………
Downpayment :Pembayaran 30 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 630.000.000(enam ratus tiga puluh juta rupiah) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan bangunan ( Pasal 2 ayat 2 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal ………..
Tahap I :Pembayaran 25 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 525.000.000 (lima ratus dua puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan dinding dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap II :Pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan atap dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap III :Pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan lantai dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pelunasan :Pembayaran 5% x Rp 2.100.000.000 = Rp. 105.000.000 dikurangi tanda jadi Rp. 10.000.000 menjadi Rp. 95.000.000(sembilan puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan selesai.
yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pembayaran tersebut harus dilakukan melalui transfer ke rekening :
Penerima : CV Maju jaya
Bank : ………………………………………………………………………………
No rekening : ………………………………………………………………………………


Pasal 6

Jangka Waktu Pengerjaan

Jangka waktu pengerjaan adalah ……………… bulan, terhitung setelah kontrak ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pembayaran tahap pertama diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal ……………………………………………………….
Apabila terjadi keterlambatan pengerjaan pembangunan dari waktu yang telah ditentukan, maka Pihak Pertama wajib membayar denda kepada Pihak Kedua sebesar Rp. 10.000/hari. ( Sepuluh ribu rupiah perhari ).
Pasal 7
Perubahan
Apabila pada waktu pengerjaan pelaksanaan konstruksi terdapat perubahan perubahan terhadap luasan, posisi dan bentuk serta penambahan material bangunan, diluar dari perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah Pihak, maka Pihak Kedua wajib membayar setiap perubahan pembongkaran dan pemasangan kembali yakni sebesar Rp. 100.000/M2. ( seratus ribu rupiah permeter persegi )

Pasal 8

Masa Pemeliharaan

1.      Masa pemeliharaan berlaku selama 3 bulan, setelah selesai
pekerjaan/serah terima hasil pekerjaan yang diikuti dengan penandatanganan berita acara penyerahan bangunan.
1.      Apabila dalam masa pemeliharaan tersebut terdapat kerusakan yang disebabkan bukan dari pekerjaan Pihak Pertama, maka Pihak Kedua tidak berhak menuntut Pihak Pertama untuk mengerjakannya.
Namun, Pihak Pertama dapat memperbaiki kerusakan tersebut sesuai dengan formulir perubahan dengan biaya yang ditanggung oleh Pihak Kedua sebesar Rp. 100.000/M2 ( termasuk biaya upah tukang & material ).
Pasal 9
Lain – Lain
Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan bersama- sama mematuhi dengan baik dan bertanggung jawab terhadap seluruh kesepakatan kerja yang telah disetujui.
Demikian Kontrak Kerja ini telah di setujui dan di tanda tangani untuk dilaksanakan dengan sebagai mana mestinya tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.
Pihak Pertama Pihak Kedua
( …………………. ) (…………………… )
CV. Maju jaya